Bab 4; Musim Gugur di Toko Antik Bersama Tchaikovsky

40 6 0
                                    

Penghujung September. Aku bisa melihat dedaunan itu mulai berjatuhan di teronggok tanah dan mengucapkan selamat tinggal kepada musim panas yang sudah bosan.

Percaya atau tidak aku begitu menyukai musim gugur, aku menantikan penyair di ujung jalan untuk menyanyikan kidung barunya. Menyapa semua orang dan berkata "Nikmati musim gugurmu!" Ia memang mirip Santa Klaus namun ia pandai merengut hati seseorang. Tahun lalu penyair itu berkata padaku, bahwasanya hiruk pikuk di Sungai Adelaide terjadi karena mereka berlomba-lomba menyapa ku di pagi hari.

Bukan hanya diriku, kuyakin peri-peri dan nimfa di dunia sana pun menantikannya.

"Selamat pagi"

"Selamat pagi Edelweiss." Mama tersenyum lebar selagi aku turun menghampirinya, lengannya penuh dengan tepung terigu dan kantung matanya pagi ini terlihat lebih besar. Seperti dugaanku dia membuat kue kering semalaman, harusnya dia melupakan semua tradisi musim gugur ini.

"Biar Mama tebak, kamu akan memakan kue kering ini dan pergi ke ujung jalan untuk menantikan penyair tua itu menyanyikanmu sebuah lagu baru kan?"

"Penyair itu menjadi alasanku hidup." Mama menggenggam jemariku erat, "Ceritakan pada Mama bait-bait yang dia bacakan hari ini."

"Aku bahkan akan meminta tanda tangannya untuk Mama." Gelak tawa terdengar nyaring di penjuru ruangan. Tak lupa ditemani susu dan juga lagu-lagu Paul Anka, Mama menyimpan banyak sekali albumnya oh teenagers problem.

Aku menginjakkan kakiku ke tanah yang lembab, sepasang burung kolibri di atas kotak pos surat berkicau merdu dan sesekali aku melihat ke arah jam ditanganku dan menyadari aku hanya memiliki sedikit waktu untuk melihat sang penyair. Apa aku terlalu banyak mendramatisasikan Oktober?

Karena hal itu aku berjalan lebih cepat untuk sampai di ujung jalan. Aku menggenggam not komposisi milik Saint-Saëns dan sebuah puisi yang kutulis semalaman untuknya, aku harus membalas semua bait-bait menakjubkan itu. Sesampainyaku di ujung jalan aku tidak melihat siapapun yang berdiri disana, dengan sebuah biola ataupun kertas-kertas yang bertaburan di lantar.

Melainkan kelopak mawar putih yang mengelilingi pohon dimana penyair itu selalu berdiri dan menyapa dunia, rasa kekhawatiran kumuncul. Jadi aku memutuskan untuk mendekatinya harap-harap mendapat jawaban yang membuat perasaanku tenang. Tanpa kusadari pula lantai-lantai trotoar itu penuh dengan perkamen kosong yang ketika kubalik ternyata bertuliskan surat pendek dan syair, kalimat itu semua kuartikan sebagai ucapan belasungkawa.

Sungguh hal yang aneh, sembari mencari tahu apa yang terjadi seorang wanita datang menghampiriku. "Nak, boleh permisi sebentar?" Aku berdiri dan mempersilakannya berjalan kemudian wanita itu menempelkan sebuah figura yang berisi potret dan kalimat pendek dibawahnya.

Seseorang di dalam potret tersebut tersenyum hangat, ia memakai jas hitam rapi juga topi Holmes kebanggaannya dan ia duduk tegak sambil menggenggam biola istimewanya. Perlahan kumembaca kalimat yang berhasil mematahkan hatiku.

In loving memories of Sir. Sullivan, our beloved poet.

I will hold you in my heart until I can hold you again in such a vast heaven.
— Andrew Sullivan

Puisi dan komposisi yang ku genggam terhempas menyatu dengan dedaunan jingga cantik itu sementara air mata sudah menggenangi pelupuk mataku. Bahuku bergetar hebat dan kepalaku menggeleng berusaha berpikir ini hanyalah bunga tidur.

Namun sia-sia karena banyak orang yang terus berdatangan dan meletakan syair-syair luka mereka serta isak tangisan yang mungkin akan dibenci beliau.

Jika aku tahu ini lebih awal, mungkin aku akan memainkan komposisi kesukaannya atau membacakannya puisi-puisi yang membuatnya tenang untuk selamanya. Aku mengambil kedua kertas yang kubawa lalu berputar arah menuju pemakaman. Melupakan kelas Sastra kesukaanku dan gairah akan musim gugur yang sekarang penuh luka.

EvermoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang