Sepertinya Kita Pernah Bertemu. Kalimat tadi merupakan judul puisi yang akan kupakai untuk lomba 2 minggu yang akan datang. Pada akhirnya aku mengikuti saran si ketua klub sastra yang terus mengantuiku.
Di jam terakhir yang kosong aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitaran sekolah bersama Anna sambil berbincang ringan. Para guru sedang rapat mengenai festival lain yang akan diselenggarakan akhir bulan. Entah alasan apa sekolah ini begitu menyukai acara di luar sekolah, tapi kuhargai itu, sepertinya mereka ingin mengabadikan kenangan bersama angkatan kami.
"Puisi ini terinspirasi dari nama belakangmu." Ujarku sambil membaca ulang setiap baitnya, takut-takut aku akan membuat sebuah perubahan. Anna menunjuk kertas itu dengan jari telunjuknya, "Kata Hathaway nggak ada di kertas itu."
"Memang nggak ada. Anna Hathaway yang seharusnya Anne Hathaway ialah istri William Shakespeare. Minggu lalu aku membaca majalah yang beredar tentang Shakespeare berkata pada Anne, life is too short to love you in one, I promise to look for you in the next life. Meski aku tahu Shakespeare tidak pernah berkata seperti itu karena kalimatnya terlalu mudah dimengerti tetapi maknanya cukup indah untuk ku buatkan puisi tentang dua kekasih yang merasa familier karena pernah mencintai di kehidupan yang berbeda."
Anna menatapku kagum, terlihat kebingungan diawal namun tak lama senyumannya merekah, "Ide yang brilian, untung saja Ayahku penggila Shakespeare kalau tidak puisi ini bisa saja berubah menjadi tragis mengingat Mama yang hampir menamaiku Scarlett karena dia menyukai novel Margaret Mitchell yang berjudul Gone with the Wind."
"Tentang apa itu?" Aku bertanya.
"Aku belum pernah membaca novel atau filmnya. Tapi itu sangat klasik, tentang dua insan yang jatuh cinta berlatarkan rekonstruksi dan perang saudara di Amerika. Cinta dan perang, buruk bukan?"
"Itu lebih baik."Percakapan kami terhentikan kala dua suara dengan nada yang meninggi terdengar. Suara itu datangnya dari dekat gedung serbaguna—gedung yang dihuni para anggota klub diberbagai juru sekolah. Kami mengendap-endap untuk mendengarkan apa yang mereka perdebatkan.
"Dasar sampah pemerintah yang apatis! ledakan bau itu mengganggu aktivitas klub kami. Kau lihat warna-warna aneh itu? Kalian harusnya berhenti melakukan eksperimen gila itu dan mengangkat kaki dari sini!"
"Kami mendapatkan hak dari sekolah untuk melakukan apa saja, toh kalian juga akan segera dikeluarkan dari gedung serbaguna dan setidaknya kami bereksperimen. Pemikiran-pemikiran kalian bahkan tidak bisa dibuktikan!"Anna menarik lenganku untuk meninggalkan gedung serbaguna. Bahkan dari kejauhan pun aku masih bisa mendengar suara keduanya, "Ada apa tadi? Kenapa Ray berdebat dengan Harvey?"
"Hari yang normal di gedung serbaguna. Klub kimia yang berdebat dengan klub filsafat disambung klub debat dan klub teater, lalu masih banyak lagi."
Kami berjalan disepanjang koridor masih dengan topik yang sama yaitu permasalahan klub di gedung serbaguna tadi. Sebenarnya alasan utama mereka berdebat adalah pengumuman dari headmaster bahwa beberapa klub seperti klub bahasa, filsafat, seni, teater akan dibubarkan karena kurangnya minat dan anggota.
"Tapi sebentar lagi festival, bukankah ini kesempatan klub-klub itu untuk menarik banyak siswa menjadi anggota."
"Itu dia masalahnya, mereka malah pesimis duluan. Nggak sinkron memang, maju segan mundur pun tak mau. Kamu ada ide, Del?"
"Dulu aku pernah berpikiran untuk mengadakan pameran lukisan, tapi bedanya orang-orang yang berpartisipasi akan berdandan dan menirukan pose-pose lukisan terkenal. Ini terdengar aneh tapi bagaimana jika kita mempersatukan klub-klub yang terancam bubar itu lalu nantinya kita akan bekerjasama untuk meyakinkan sekolah selayak apa mereka untuk dipertahankan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore
Roman d'amour"When the person who gave you the best memories, becomes a memory." Edelweiss Armstrong tidak lebih dari seorang penulis amatir yang mendambakan karya-karya Charlotte Brontë dan William Shakespeare. Disaat itu pula dunia kecilnya harus terganggu saa...