Hantu

36 8 3
                                    

Di belahan bumi manapun, hujan selalu menghadirkan perasaan yang sama, dingin. Sepertinya memang hanya matahari yang senantiasa memberikan kehangatan. Namun sialnya, matahari selalu bersembunyi kala hujan turun. Ada yang bilang, ketika cahaya sang surya dan derai hujan saling menyapa, di saat itulah akan lahir pelangi. Akan tetapi, sampai detik ini, Key belum pernah menyaksikan wujud nyata dari kumpulan bias warna yang katanya mampu melambungkan imaji itu.

Dulu, Key pernah bertanya-tanya, ketika semua warna melebur menjadi satu, akankah itu melahirkan pelangi? Sayangnya tidak, itu hanya akan menghasilkan satu warna. Bagaimana bisa disebut pelangi jika hanya memiliki satu warna? Huh! Ternyata pelangi memang sulit dipahami, sama halnya dengan dunia ini.

Malam ini terasa sama seperti beberapa tahun silam, gelap, dingin, dan Key juga tidak tahu kapan hujan akan reda. Key sadar, bahwa hujan tidak akan berhenti meskipun seseorang memakinya ribuan kali. Dan sialnya, halte bobrok tempatnya berteduh juga tak mampu membuat tubuhnya sepenuhnya kering.

Melalui sudut matanya, Key kembali mengamati seorang gadis yang berdiri beberapa langkah darinya, dan lagi-lagi gadis itu sedikit bergidik sembari memeluk tubuhnya sendiri. Entah mengapa gadis itu turun dari taksi dan ikut berdiri bodoh di tempat tersebut. Bukankah akan lebih baik jika dia meminta taksi mengantarkannya sampai ke tempat tujuan? Bukannya ingin mencampuri urusan gadis tetsebut, tapi Key berpikir bahwa itu sedikit aneh.

Ketika Key menoleh ke arahnya, gadis itu tersenyum lalu dengan cepat mengatakan bahwa dirinya tidak mengatakan apa-apa. Key tidak menanggapi, dia hanya sedikit menyipitkan mata. Gadis itu kembali tersenyum, tapi kali ini terlihat sedikit canggung. Mungkin dia menyadari bahwa dirinya telah salah dengar dan mengira bahwa Key telah mengatakan sesuatu kepadanya tadi.

"Apakah kamu dari kota lain? Maksudku, baru datang ke kota ini?" tanya gadis itu dengan tubuh sedikit bergetar sembari mengangkat telunjuknya ke arah koper di sebelah kaki Key.

"Ya."

"Apa hanya kamu yang turun di halte ini?"

"Kamu menunggu seseorang?"

Gadis itu memasukkan dua tangannya ke dalam saku sweater seraya mengangguk ringan. "Aku menunggu sepupuku, dia juga turun di halte ini, seharusnya." jika mendengar dari suaranya, sepertinya gadis itu cukup mengkhawatirkan sepupunya.

Dia menjemput seseorang, tapi dia tidak membawa kendaraan sendiri. Bukankah itu sedikit tidak masuk akal?

"Mungkin dia turun di halte lain, kenapa kamu tidak menghubunginya?"

"Ponselku mati. Ya, semoga saja dia turun di halte lain dan segera memesan taksi setelah menyadari bahwa aku tak juga datang menjemputnya." Gadis itu berbicara dengan percaya diri, itu terkesan seperti dia sedang memberikan sugesti positif pada dirinya sendiri.

Gadis itu mengkhawatirkan sepupunya, tapi dia sendiri terjebak di tempat ini bersama orang asing. Bukankah seharusnya dia lebih mengkhawatirkan dirinya? Manusia memang lucu. Memikirkan hal itu hanya membuat Key tersenyum tipis.

"Lalu bagaimana denganmu, bukankah kamu juga harus pulang?"

Mendapatkan pertanyaan dari Key, gadis itu sedikit menggerak-gerakkan bibirnya yang sedikit mengerucut sembari mengeratkan pelukan pada tubuhnya sendiri. Kepalanya sedikit menunduk, sorot matanya tertuju pada bulir-bulir air yang menetes dari atap halte bobrok tersebut.

"Apa kamu sudah mau pergi?" tanya gadis itu sambil menoleh ke pada Key.

"Kamu takut sendirian?"

Gadis itu mengangguk ringan, lalu kembali menarik pandangannya dari iris mata Key.

"Aneh, ini sudah lewat tengah malam, dan hujan lebat, tidak ada seorang pun yang lewat. Jika itu aku, aku berharap bahwa aku benar-benar sendirian. Itu jelas lebih melegakan." Key bergumam sendiri, meski tidak terlalu keras, tapi suaranya masih terdengar cukup jelas.

GenerasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang