Akuntan

10 2 0
                                    

Langit bagian timur telah menguning ketika Key turun dari angkutan umum untuk yang kesekian kalinya. Ketika tengah berjalan menyusuri trotoar, Key melihat Juna yang keluar dari gang kecil. Juna terlihat sedikit berbeda sore ini, tidak seperti saat bertemu dengannya tadi malam. Selain cara berjalannya yang lebih bersemangat, Key juga tidak melihat ada rasa lelah yang terpancar dari sepasang mata pemuda itu.

Namun, ketika Key tersenyum kepadanya, seketika saja raut wajah Juna menjadi tegang, seolah-olah dia tengah bertemu debkolektor yang hendak menagih hutang kepadanya. Meski begitu, Juna masih mengangguk kecil saat jarak antara dirinya dan Key semakin dekat.

Ketika Juna hendak melewatinya, Key dengan sigap memegang pundak pemuda itu. "Ada yang ingin aku tanyakan padamu."

Tubuh Juna nampak tegang seperti tengah menahan napas ketika Key menghentikannya. Meskipun itu hanya sejenak, tapi itu cukup aneh pikir Key.

Apakah Juna tidak terbiasa melakukan kontak fisik dengan orang lain?

"Ya, tentu saja, kamu bisa menanyakan apa saja yang kamu mau. Tapi maaf sebelumnya, bisakah kamu melepaskan tanganmu? Meskipun laki-laki bisa lebih bebas dari perempuan ... Ah, lupakan, maaf."

Setelah mendengar itu, Seketika itu pula Key menarik kembali tangannya.

Terdengar Juna menghela napas lega setelah tidak ada lagi yang memegang pundaknya. "Jika kamu ingin mengeluh soal kamarmu, aku harus mengatakan bahwa kamu harus berbicara langsung dengan Pak Hendra. Tapi sayangnya, saat ini dia tidak berada di kota ini."

Mungkin sejak awal Juna sudah memperkirakan bahwa Key pasti akan mengeluh perihal kamarnya. Sebab itulah Juna langsung mengatakan hal tersebut.

"Lalu, siapa yang bisa aku temui selain dia?" Key bertanya sebab tidak ada satu pun pengurus gedung yang bisa dia temui tadi pagi, seolah semua orang sengaja menghindarinya. Bahkan pertemuannya dengan wanita yang menyerupai boneka itu juga sepertinya hanya kebetulan semata.

"Jika aku mengatakan tidak ada, apakah kamu bisa memakluminya? Tempat itu sudah terlalu tua untuk bersaing dengan yang lain, bahkan untuk menarik sebagian besar penyewa, kami harus rela membanting harga sewa dengan ugal-ugalan. Dan sebagai pemiliknya, Pak Hendra hanya akan datang beberapa bulan sekali, dan dia baru ke sini Minggu lalu."

"Kami? Berarti, kamu juga bisa dikatakan sebagai penanggung jawab tempat itu?"

Juna terlihat sedikit menelan ludah, sepertinya dia mulai menyesal karena tidak jeli memilih kalimat. Namun itu reaksi yang berlebihan. Key hanya ingin mengeluh sebab pelayanan yang menyebalkan menurutnya. Tapi Juna menanggapi hal itu seolah Key adalah petugas kepolisian yang tengah menyelidiki kasus pembunuhan.

"Ya, memang ada beberapa orang yang membantu Pak Hendra mengurus gedung itu, salah satunya adalah aku. Bisa dibilang, aku adalah orang yang dipercaya Pak Hendra untuk menangani masalah keuangan di tempat itu."

"Ternyata seorang akuntan."

Juna tertawa canggung. "Meski terdengar sedikit keren, tapi kamu tidak bisa menyebutnya seperti itu. Karena sebenarnya aku hanya bertugas meminta biaya utilitas kepada penyewa gedung setiap bulannya."

"Ternyata cuma juru tagih."

Juna tidak tahu harus berkata apa, dia hanya tersenyum masam. "Aku tahu, kamu mungkin kecewa dengan kondisi kamarmu. Tapi bagaimana dengan ini, sebagai permintaan maaf, aku akan mentraktirmu makan selama tiga hari, bagaimana?"

"Lupakan soal mentraktirku, aku tidak akan menganggumu lagi."

Mendengar hal itu, Juna hanya tersenyum. Namun tidak ada kelegaan yang terpancar dari wajahnya, seolah dia meragukan ucapan Key.

Merasa sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Key dengan santainya melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Juna yang sebenarnya hendak mengatakan sesuatu.

•••

Key memperlambat langkahnya kala melihat tiga orang yang awalnya duduk tenang di lobi gedung tiba-tiba berdiri ketika melihat kedatangannya. Dua pria tersenyum cukup ramah, sedang satu pemuda berwajah pucat yang sedikit lebih tua dari Key hanya menundukkan kepala.

"Kamu penghuni baru kamar 519?" tanya pria berkemeja putih saat Key sudah berada di hadapannya.

"Ya."

"Perkenalkan, namaku Wawan, petugas kebersihan di tempat ini. Pemuda ini adalah mantan penyewa kamar yang saat kini kamu tempati," jelasnya sambil menunjuk pemuda yang masih menundukkan kepala. "Dan pria ini adalah ayahnya," imbuh Wawan sambil menunjuk pria paruh baya di sampingnya.

"Apa yang kalian butuhkan dariku?" tanya Key setelah sempat memperhatikan pemuda yang seperti Vampir kurang darah.

"Tidak ada, kami hanya ingin mengambil barang-barang yang belum sempat kami bawa," kini giliran ayah si pemuda yang mengutarakan maksud dan tujuannya.

"Karena kalian sudah bertemu dengannya, jadi kalian bisa melanjutkannya sendiri. Aku tidak bisa membantu, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," kata Wawan kepada pria paruh baya yang entah siapa namanya. Lalu, tanpa basa-basi lagi, Wawan langsung melangkah pergi.

Setibanya di dalam kamar, Key langsung mengeluarkan ransel berisi buku, dan juga pakaian yang bukan miliknya dari lemari.

"Apa peralatan dapur dan juga satu kantong penuh botol sampo di kamar mandi juga akan kalian bawa?" Pria paruh baya yang sedari tadi memperhatikan Key terlihat tersenyum malu ketika mendapat pertanyaan tersebut.

"Tidak, tidak perlu, kami hanya akan membawa buku dan pakaian milik Rudi. Dan saya, selaku ayahnya sungguh minta maaf jika barang-barang miliknya membuatmu tidak nyaman."

Key tidak menanggapi, dia hanya melirik pemuda bernama Rudi yang masih saja menundukkan kepala, jemari tangannya juga terlihat sedikit bergetar.

Melihat Key memperhatikan buah hatinya, pria paruh baya itu sedikit menghela napas. "Rudi awalnya merupakan pemuda periang, dan cukup berprestasi. Namun, kami tidak menyangka bahwa rasa keingintahuannya yang tinggi membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Semuanya berawal dari--"

"Diam!" Rudi mendesis dengan gigi geraham menegang, hal itu membuat wajahnya terlihat menyedihkan.

Pria paruh baya itu mengusap bahu anaknya dengan perasaan iba. "Maaf, jika Ayah membuatmu mengingatnya lagi."

"Aku pernah melihatmu," ucap Rudi seraya mengangkat pandangan pada Key.

"Benarkah, di mana?"

"Ruang arsip bawah tanah," ketika menyebutkan tempat tersebut, seluruh tubuh Rudi tiba-tiba gemetar hebat. "Sebaiknya kamu tidak datang ke tempat itu."

Key hanya diam tanpa memberi tanggapan apa-apa. Bahkan dari sorot matanya, dia terkesan seperti tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Rudi.

Rudi mencengkram lengan sang ayah dengan kuat.

"Baiklah, kita pulang." Pria paruh baya itu kembali mengusap pundak putranya.

"Maaf, jika kedatangan kami membuatmu tidak nyaman," ucap pria paruh baya itu sebelum meraih ransel dan beranjak keluar.

Sepertinya pria paruh baya itu memang senang sekali mengucapkan permintaan maaf. Tapi bukan hal itu yang menarik perhatian Key. Bukan juga mengapa pria paruh baya itu mengajak purtanya yang masih dalam kondisi seperti itu jika hanya untuk mengambil barang sepele.

Ruang arsip bawah tanah?

Key belum pernah berada di tempat semacam itu sebelumnya, jadi bagaimana bisa seseorang yang baru pertama kali bertemu dengannya mengatakan hal tersebut? Setelah memikirkan beberapa kemungkinan, Key harus puas dengan kesimpulan sementara, dan itu hanya mengerucut pada apa yang diderita oleh Rudi saat ini.

Key merebahkan tubuhnya di atas kasur, memandang liontin perak di telapak tangannya. Beberapa detik berlalu begitu lambat, dan tiba-tiba saja Key mengerutkan kening seperti tengah menahan rasa sakit. Namun, satu detik kemudian, Key menutup matanya seraya tersenyum.

Ukaraska

GenerasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang