Selamat Jalan, Bapak

41 17 5
                                    

Anak pertama bahunya harus sekuat baja, pijakannya harus setegar karang.

🛵🛵🛵

"Apa, Cang? Tadi malem 'kan bapak masih ngobrol sama kita?" Bahkan Laskar baru saja bangun ketika Cang Robi mengabarkan berita duka itu.

"Cang Robi nggak lagi nge-prank, 'kan?" Laskar masih tak percaya.

"Ngapain gue nge-prank? Bocah ngapa, ya?" terdengar di seberang sana Cang Robi menggerutu.

Laskar mematung, bapak meninggal. Saat subuh hendak Cang Robi bangunkan tubuh bapak kaku, tak bergerak, bapa meninggal.

"Kar? Lah elu malah bengong? Buruan dah sekarang lu beresin rumah, ini bentar lagi jenazah bapak lu dibawa ke sana."

Suara Cang Robi masih menggerutu, Laskar lekas membangunkan Tante Amara. Namun, wanita itu tak kunjung membuka pintu. Hingga akhirnya pintu rumah diketuk seseorang menyusul salam beramai-ramai.

Nampak Babe Muhtar, Babe Ojak, Mpok Lela, Mpok Atun dan Cang Awang menatap Laskar dengan iba.

"Kar, sabar ya, Kar." Mpok Lela yang menangis histeris.

"Kuat ya, lu Kar. Kagak tega banget dah ah gue lihat tampang elu," ucap Mpok Atun.

"Udeh, udeh, mending bantuin Laskar beresin ruang tamu," lerai Cang Awang yang usianya lebih muda di antara orang-orang itu.

"Nyak tiri lu dah bangun belon?" tanya Mpok Lela.

Laskar menggeleng, tetapi bersamaan dengan itu Tante Amara datang menghampiri. Bangun tidur saja wajahnya kinclong dan rambutnya harum. Jelas, sebelum tidur wanita itu mengaplikasikan skin care ke wajah dan tubuhnya.

"Eh, ngapain nih ribut-ribut?" tanya Tante Amara.

"Laki elu, Mara. Meninggal, jenazahnya lagi dibawa pulang," tutur Mpok Atun membuat Tante Amara melotot kaget.

"Jangan becanda, Mpok! Malem gue masih teleponan sama Bang Arif." Tante Amara mulai panik.

"Gue kagak becanda, et dah! Laki elu meningal aslian, kagak pake empreng-emprengan dah gua, mah." Mpok Lela menjelaskan.

"Udeh, ngapa jadi debat? Siapin rumah, gue mau ke pak ustaz dulu," komando Babe Muhtar segera didengar oleh Laskar dan ibu-ibu itu.

Pukul tujuh jenazah bapak tiba. Yumna, Abian, dan Sutan jelas menangis tak keruan. Abian sembunyi di halaman belakang. Sutan menangis bersama Una, dan Tante Amara tak meninggalkan barang sekejap jenazah bapak. Hingga tubuh kaku bapak dimasukan ke dalam keranda, siap dimakamkan.

Laskar nampak tegar, dia tak setetes pun mengeluarkan air mata. Malah gesit mengurusi semua keperluan proses penguburan. Laskar masuk ke dalam liang lahat, menidurkan bapa untuk yang terakhir kalinya.

"Benarkah bapak meninggal?"

"Aku sekarang sama siapa, Pak?"

"Una, Sutan, Abian, bahkan Akar masih butuh bapak."

"Bisakah Akar tetep senyum setelah semua ini terjadi, Pak?"

Abian, Sutan, dan Yumna masih terus menerus menangis ketika Laskar kembali dari pemakaman. Laskar terlebih dahulu menggendong Yumna. Bocah itu masih saja menanyakan kenapa bapak pergi?

"Abang, bapak kenapa ninggalin kita, Bang?" Yumna dengan air mata berderai memukuli dada Laskar.

"Una, sini sama Kak Angi, Sayang." Angi datang bersama Shasa, Utami, Ihsan, Akbar, dan wali kelas mereka.

"Curut dua nggak bisa ikut, Kar. Nggak dapet izin," ungkap Akbar dengan raut sedih.

"Iya, nggak apa. Makasih udah dateng," jawab Laskar.

LaskarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang