Katakan Putus

38 15 3
                                    

"Elo nggak apa 'kan?" Laskar bertanya pada Angi begitu mereka sampai di halaman belakang sekolah.

"Kenapa sih, Kar? Aku sehat," jawab Angi tegas.

"Soal Ryu, elo nggak apa-apa beneran?" ulang Laskar.

Angi tertawa, memang apa urusan dia dengan Ryu. Soal skandal Ryu saja Angi tak peduli. Mau gimana juga bukan urusan Angi.

"Dia nyakitin elo? Abis dapetin elo dia main belakang sama Cupang?" tebak Laskar.

Angi malah terbahak, rupanya Laskar mengira Angi dan Ryu ada hubungan spesial.

"Ke sini cuma mau bahas ginian doang?" selidik Angi. Laskar tak mengangguk tak menggeleng juga.

"Kalo nggak ada yang mau dibahas lagi gue pergi. Mau jadi anak baik, nih. Jangan dibawa-bawa nakal lagi."

"Cabut yu, Ngi!" Tanpa pikir panjang, Laskar mengajak Angi bolos.

"Wih, gila. Berani cabut sekarang nih seorang Laskar?" Angi berdecak.

"Ayo, sekali seumur hidup nggak apa kali cabut." Laskar kembali menarik tas Angi.

"Eeh, serius nih?" Angi tak percaya.

Namun, Laskar lekas mengajaknya berlari. Pintu gerbang belum ditutup, membuat Laskar dan Angi leluasa keluar dari gedung sekolah.

"Cape, Akar!" Angi menghentikan langkah saat sudah agak jauh dari sekolah.

Laskar ikut berhenti, Angi tanpa pikir panjang menjatuhkan tubuhnya ke atas jalanan. Lututnya terasa lemas, jujur saja Angi masih merasa tak enak badan. Kepalanya juga kembali pusing, titik keringat menghiasi kening cewek itu.

"Ngi, pusing bukan?" Laskar panik. Melihat raut wajah Angi yang berubah pucat.

"Haus banget," gumam Angi kemudian mengambil tumbler dari ransel. Namun, kepayahan saat hendak membuka tutupnya.

Laskar merebut benda itu dari Angi, dan membuka tutupnya. "Minumnya pelan-pelan."

Angi malah tersedak, tenggorokannya terasa pahit. "Duh, sorry ... sorry." Angi mengelap bibirnya yang basah.

"Elo sakit apa sih sebenarnya?" tanya Laskar.

Angi tertawa, raut wajah Laskar jelas menaruh banyak curiga. Mungkin cowok itu berpikir yang tidak-tidak sama dengan teman yang lain.

"Maag, udah akut. Jadi kaya orang ngidam gini, 'kan?"

"Apa mau pulang aja, nggak usah mabal?" saran Laskar.

"Pulang? Elo tahu nggak sih arti pulang itu apa?"

"Pulang ya balik ke rumah, setelah lelah sekolah, kerja, atau apapun itu. Rumah tempat istirahat paling nyaman, paling aman."

Angi tertawa, "enak ya orang-orang bisa seindah itu mendefinisikan tentang pulang."

"Buat gue pulang justru hal paling menakutkan. Nggak ada kenyamanan di rumah, malah sepi dan asing."

"Ngi, masih kaya dulu?"

Laskar tahu, orang tua Angi selalu sibuk di luaran. Bahkan sering bertengkar dan saling menyalahkan.

"Anak papa udah kelas lima sekarang, bahagia banget mereka, Kar. Sering posting lagi dianter sekolah." Air mata Angi luruh begitu saja.

"Ngiii ...."

"Papa nggak peduli di saat gue sakit, Kar. Mama juga malah nyalah-nyalahin."

"Katanya gue anak nggak bersyukur, makan tinggal makan masih aja kena maag. Mereka malu katanya punya anak gue."

Masih terngiang, kejadian beberapa hari lalu saat Angi dijemput oleh supirnya. Sampai di rumah, mama papa malah marah. Saling menuduh Angi berperangai buruk karena kesalahan masing-masing.

"Kamu yang salah, sebagai ibu harusnya bisa memantau keadaan anak. Bukan asyik di partai, di ruang rapat dewan." Papa bahkan tak segan melempar keramik hiasan.

"Kamu yang salah, malah nikah lagi sampe punya anak segala. Tanya Angi, siapa di antara kita yang paling menyakiti hatinya?"

Angi kembali menangis hebat, menutup kedua wajah dengan telapak tangan. Mengingat kejadian itu, jelas hatinya hancur. Mama papa bukannya intro malah saling menyalahkan.

"Gue bahkan ke rumah sakit sama si mbok, mereka nggak mau nanya langsung ke dokter gue sakit apa, Kar."

Tangis Angi masih tak bisa ditahan, Laskar mengusap punggung Angi dengan tumbler. Memiliki tapi tak bisa menggapai, lebih baik kehilangan tapi masih bisa mengenang keindahan.

Cukup lama Angi dalam keadaan seperti itu, hingga akhirnya cewek itu minta ke rumah Shasa saja. Laskar menuruti mau Angi. Keduanya menggunakan angkot menuju tempat tujuan.

Mama Shasa sempat heran, mengapa kedua anak itu sudah pulang. Laskar terpaksa berbohong, bilang kalau Angi sakit dan ingin istirahat di rumah Shasa saja. Mama Shasa tahu dengan semua masalah di rumah Angi. Beliau tak melarang, justru dengan telaten merawat Angi.

"Kar, beli jamu obat maag deh ke Mbak Yu yang di deket rumah kamu. Itu alami, cuma kunyit gede, daun bandotan, sama gula Jawa."

Laskar menurut saja, ia gegas pergi ke tempat yang dituju. Kontrakan Mbak Yu tukang jamu hanya terhalang satu rumah dari kediaman Laskar. Cowok itu membeli satu botol jamu sesuai perintah mama Shasa. Saat hendak kembali ke rumah Shasa, teriakan seseorang yang familiar di telinganya membuat Laskar menoleh ke arah suara.

"Una, kok ada di sini?" tanya Laskar pada Yumna yang masih mengenakan seragam sekolahnya.

"Una baru pulang sekolah, Bang. Pantesan Una pengen ke sini, padahal ada Abang. Hehehe," tawa Yumna cekikikan.

"Mama Una mana?"

Baru bertanya begitu, Tante Amara dengan langkah berlari mendekat ke arah Laskar dan Yumna.

"Una, kebiasaan suka lari-lari," tegur Tante Amara.

"Kebetulan ada Abang Akar, Tante titip Una bisa 'kan?" Tante Amara sudah rapi. Seperti hendak pergi.

"Tante mau ke mana?" tanya Laskar.

"Ada keperluan sebentar," jawab Tante Amara sambil terus pergi setelah memberikan tas Yumna ke Laskar.

Bukannya tak senang dititipi Yumna begitu, namun cara Tante Amara mengurus bocah itu kenapa seperti ini. Kata tetangga, Yumna sering kali diabaikan. Lihat saja, sekarang badannya kurus, kulitnya juga hitam.

Tiba di rumah Shasa, Yumna senang melihat ada Angi. Tapi, ia juga sedih dengan keadaan Angi yang pucat dan tak bisa banyak main dengannya. Angi langsung tidur begitu diberi minum jamu oleh mama Shasa. Katanya terasa enak di dalam perut, perihnya sedikit hilang.

Cukup lama Angi tidur, hingga ia meminta kembali ke sekolah karena takut dicari oleh sang sopir. Laskar merasa bersalah sudah mengajak Angi lari-lari tadi.

"Jangan dulu sekolah kalo emang besok masih sakit," pesan Laskar saat Angi hendak naik ke mobil.

Angi hanya mengangguk, ia perlahan duduk di kursi mobil dengan hati berkecamuk karena takut ketahuan cabut oleh mama. Namun, pak sopir sepertinya tak curiga.

"Laskar, jadi kamu bolos kelas sama lupa nepatin janji ke aku cuma nemenin si Angi doang?" tuduh Sahla yang baru datang.

Laskar tak lekas menjawab, ia masih kaget dengan kedatangan Sahla.

"Kamu tuh pacar aku atau dia sih?" bentak Sahla.

"Aku nih pacar atau babu sih?" balas Laskar.

"Di mana-mana kan pacar emang gitu, selalu siap nemenin pacarnya."

"Tapi orang lain nggak pernah nyuruh-nyuruh dengan cara kasar."

"Kamu berani ya sekarang ke aku? Kamu mau kita putus?" kesal Sahla.

"Siapa takut? Mau putus?" tantang Laskar membuat Sahla kelimpungan salah tingkah.

LaskarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang