Aku Suka

22 6 3
                                    

 

Sudah sekitar tiga puluh menit Bagas menunggu namun seseorang yang ia tunggu belum juga terlihat kehadirannya. Ada rasa cemas dan takut yang meliputi hatinya.

Ia bahkan sudah memberitahu Bang Jupri kalau pagi ini ia akan sedikit terlambat datang ke pangkalan. Rasanya waktu bergerak sangat lama. Sedari tadi tak henti ia bergerak ke sana-kemari untuk menutupi rasa gelisahnya ... juga kegugupannya.

“Lagi nungguin orang?” tanya seorang tukang parkir yang kebetulan ada di pelataran toko alat tulis tersebut.

Bagas menoleh terkejut. “Eh ... iya, Bang,” sahutnya dengan cepat.

“Nggak ditelpon aja, daripada gelisah kek gini,” sarannya.

“Nggak tahu nomornya, Bang.” Bagas menjawab sambil tersenyum salah tingkah.

Tukang parkir itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat sikap malu-malu lelaki di depannya ini. Lelaki dengan tampilan raksasa karena tinggi besar tapi dengan tingkah yang malu-malu. Sungguh perpaduan yang sangat tidak pas.

“Sudah pasti lewat sini orangnya?” tanyanya lebih lanjut.

“Pasti, Bang. Kan, tujuannya ke depan sana,” jelas Bagas sambil kepalanya bergerak ke arah sekolah yang ada di seberang.

“Oh ... kerja di seberang, tho. Kalau gitu mah, tungguin aja. Udah pasti lewat sini.”

Bagas hanya mengangguk tanpa menjelaskan lebih lanjut siapa yamg ia tunggu.

Duh, Neng, cepetan dong datangnya. Udah gak sabar pengen liat Eneng. Kangen.

Bagas menepuk keningnya karena pikiran ngawurnya itu.

Ya ampun, lama-lama bisa gila kalau kayak gini terus. Makin kangen tapi gak tahu yang dikangenin ngerasa atau gak. Semoga aja sama rasa.

Tampaknya sebentar lagi Bagas benar-benar akan gila karena pikirannya sendiri.

Tidak lama kemudian terlihat sebuah mobil yang memasuki jalur khusus untuk pengantar siswa Cendekia Bangsa. Mobil yang Bagas ketahui membawa seseorang yang sudah membuatnya tak tenang.

Selepas mobil tersebut meninggalkan area sekolah, terlihatlah dia ... Sulika yang keluar dari gerbang sekolah dengan setengah berlari. Netranya menatap ke seberang. Pandangannya tampak mencari sesuatu atau seseorang. Begitu yang dicari sudah ada dalam pandangan, raut lega pun terbit dari wajahnya. Bergegas ia menuju ke seberang.

Bagas pun tak beda, nafas lega tanpa sadar ia hembuskan ketika melihat kehadiran Sulika. Semakin membuncah rasa di dadanya.

Entah apa yang sudah diperbuat oleh gadis mungil yang sedang berlari kecil ke arahnya, tapi hatinya benar-benar sudah tertawan begitu erat.

“Udah lama? tanya Sulika dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan. “Maaf ya kalau nunggunya lama, tadi agak sedikit macet,” jelasnya lebih lanjut.

“Nggak kok, baru sebentar. Kenapa tadi lari-lari?” tanya Bagas dengan lembut. Tangannya gatal ingin menghapus keringat di dahi Sulika. Selain itu anak rambut yang sedikit acak-acakan semakin membuat Bagas gemas. Sulika mungkin akan terkejut kalau tahu betapa keras usahanya untuk membuat tangannya tetap ditempat, rasanya teramat sangat ingin merapikan rambutnya sekaligus menyentuh wajah yang ada di hadapannya ini.

“Takut kalau Abang nunggunya kelamaan,” sahut Sulika lirih sambil menunduk.

Abang? Beneran ini dipanggil Abang?

“Eh, apa?” tanya Bagas ingin memastikan pendengarannya sekaligus menutupi rasa senangnya.

“Ishhh ... gak ada berita ulang ya,” rajuknya sambil sedikit mengerucutkan bibirnya yang merah alami.

TIMELESS (END) (Tersedia E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang