Tuhan, bolehkah aku memilikinya?

22 5 10
                                    

 

 

“Wuihhh ... roman-romannya ada yang lagi seneng nih!” Celetukan dari Bang Jupri menjadi ucapan selamat datang saat Bagas tiba di pangkalan pagi itu.

 

Tentu saja, suaranya yang cukup keras itu mengundang perhatian dari para sopir angkot yang kebetulan ada di sana.

Bagas hanya tersenyum sambil menggeleng kecil. “Apaan sih, Bang. Perasaan kan setiap hari juga saya mah seneng.”

“Tapi hari ini ente beda banget, Gas. Tuh muka ampe terang benderang begitu. Iya, kan?” Bang Jupri seolah meminta dukungan dari orang-orang di sekitarnya.

“Bener tuh, Bang. Mukanya Bagas hari ini beda banget, makin cakep. Kalau kata anak jaman now mah, glowing-glowing gitu,” sahut salah seorang sopir angkot sambil menyeruput kopinya.

Kontak saja pecahlah tawa semua orang mendengar hal itu.

Sedangkan Bagas hanya bisa tersenyum sambil mengusap tengkuknya.

“Nggak ada yang beda kok Bang. Sama saja seperti biasanya.”

“Ya udah deh, kalau gak mau bagi-bagi cerita juga gak apa-apa. Udah siapkan?” tanya Bang Jupri pada Bagas yang dijawab dengan anggukan. “Kalau sudah, ayo kita narik.”

“Ayo semuanya, kami cabut duluan ya,” pamit Bang Jupri pada semuanya yang dibalas dengan lambaian tangan.

Angkot Bang Jupri pun berlalu dari daerah pangkalan. Bergabung dengan keramaian jalanan yang sudah padat. Satu harapan dan doa terucapkan semoga hari ini mereka bisa mendapatkan banyak penumpang.

“Jangan senyum-senyum sendiri dong, nanti gak ada yang mau naik angkot kita,” goda Bang Jupri saat dilihatnya Bagas yang duduk di pintu angkot tersenyum senang.

“Apa sih, Bang,” cetus Bagas dengan malu-malu.

“Mumpung nih angkot masih kosong, cepetan deh kamu cerita. Daripada nanti Abang pingsan gara-gara penasaran,” selorohnya pada Bagas.

Mendengar hal ini pun Bagas tergelak keras. “Kalau Abang pingsan, biar nanti angkotnya saya yang bawa,” jawab Bagas dengan riang.

Bang Jupri pun tergelak mendengar jawaban Bagas.

Mereka berkelana di sepanjang jalan raya, mencoba peruntungan mencari rezeki demi keluarga yang menunggu di rumah.

Tak terasa, hari pun beranjak siang. Matahari yang sudah berada di atas kepala menjadi penanda bahwa waktu istirahat telah tiba.

Bang Jupri pun segera memutar roda kemudinya untuk menuju ke pangkalan. Sesampainya di sana, terlihat sudah banyak angkot yang masuk. Sebenarnya tanpa ikut menarik angkot pun Bang Jupri sudah bisa menikmati hasilnya kerja kerasnya selama ini. Namun jiwa pekerja kerasnya tidak bisa diajak duduk manis. Jadilah ia ikut menjadi sopir.

Kalau ada yang bertanya padanya kenapa masih mau menjadi sopir angkot sedangkan semua angkot yang berjumlah puluhan itu adalah miliknya, dengan santai Bang Jupri akan menjawab demi nostalgia saat dulu jadi orang susah.

“Supaya saya selalu ingat dengan semua perjuangan dan air mata saat dulu merintis kehidupan dan tidak menjadi sombong saat sudah berjaya seperti sekarang ini.”

Sebenarnya selain mengurusi angkot yang berjumlah puluhan, Bang Jupri juga disibukkan dengan urusan rumah kontrakan yang tersebar di mana-mana juga tambak udang yang luas dan besar. Bang Jupri punya tambak udang yang luas di tiga lokasi yang berbeda. Singkat kata, Bang Jupri itu benar-benar juragan besar dengan penampilan sederhana dan bersahaja.

TIMELESS (END) (Tersedia E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang