Sarita memandang tajam lawan bicaranya. Beragam emosi mewarnai wajahnya. Sedangkan orang yang menjadi lawan bicaranya tetap bersikap tenang, seolah-olah ada yang baru saja dia ucapkan bukanlah suatu masalah besar. Sungguh keterlaluan, Sarita menahan geramnya.
“Apa yang saya dengar tidak salah?” Sarita mencoba untuk tetap berusaha tenang dan mengontrol emosinya.
“Tentu saja tidak, Jeng Sarita,” jawab lawan bicaranya sambil meletakkan cangkir tehnya dengan sikap yang anggun dan tertata.
Sarita mencoba tersenyum. “Tapi, apa yang Jeng Evita sampaikan barusan, benar-benar di luar dugaan saya. Dan terus terang saja saya tidak bisa menerimanya,” ujarnya dengan tegas.
“Lho, kenapa tidak bisa?” tanya Evita sambil memandang Sarita yang wajahnya diliputi emosi.
“Tentu saja tidak bisa karena Jeng membatalkan rencana perjodohan ini secara sepihak! Jeng Evita secara tidak langsung sudah merendahkan martabat keluarga Surbekti!”
“Di bagian mananya saya merendahkan? Saya rasa Jeng Sarita terlalu berlebihan dalam menanggapinya.” Evita tetap bersikap tenang dan tidak terpancing dengan permainan emosi Sarita.
Mendengar jawaban lawan bicaranya yang tenang semakin membuat Sarita geram.
“Apanya yang berlebihan? Saya rasa wajar kalau reaksi saya seperti ini. Saya rasa Jeng Evita yang tidak sadar dengan tindakannya.” Sarita menjawab dengan sinis.
“Bagaimana bisa Jeng Evita membatalkan rencana perjodohan ini tanpa alasan yang tidak jelas?” lanjut Sarita.
“Tanpa alasan yang tidak jelas bagaimana, tho? Bukankah saya sudah bilang kalau rencana ini dibatalkan karena putra saya tidak menyukai putrimu selayaknya seorang laki-laki yang menyukai perempuan. Putra saya hanya menganggap putri Jeng itu sebagai seorang adik. Tidak lebih.”
“Saya rasa alasan putra Jeng itu terlalu mengada-ada. Apa Jeng lupa betapa antusiasnya putra Jeng mendekati putri saya saat pertama kalinya mereka bertemu? Lalu, apanya yang tidak menyukainya?” cecar Sarita tak terima.
“Jeng, kalaupun putra saya terlihat antusias saya rasa wajarlah, kan mereka baru pertama kalinya bertemu. Namanya juga anak muda, pasti ingin tahu tentang orang yang baru dikenalnya, itu reaksi yang wajar menurut saya.”
“Lagi pula putra saya bilang kalau Sulika bukanlah tipe wanita idamannya. Dia lebih suka mencari pasangan yang seusia dengannya atau wanita yang lebih dewasa darinya tak masalah, tapi yang jelas bukan gadis belia seperti putrimu. Bram hanya menganggap Sulika seperti seorang adik, tidak lebih. Tidak ada ketertarikan selayaknya seorang laki-laki terhadap perempuan. Semua perhatian murni seperti perhatian terhadap seorang adik.”
Maafin Mami ya nak karena udah bohong nih. Padahal kan kamu suka dan cinta sama Sulika.
“Jadi, saya harap Jeng Sarita bisa memaklumi dan menerima keputusan keluarga saya.” Evita mencoba memberi pengertian kepada Sarita yang terlihat masih begitu emosional.
Sarita hanya mendengus mendengar penjelasan dari Evita.
“Tetap saja itu tidak bisa dijadikan alasan. Saya yakin, kalau mereka bertemu secara intens, perasaan Bram bisa berubah. Dia pasti akan merubah cara pandangnya terhadap Sulika.” Sarita tetap bersikeras dengan pendapatnya.
“Jeng Sarita, mungkin Jeng lupa kalau rencana ini kan baru sekedar pembicaraan sekilas di antara kita berdua, baru sekedar wacana yang belum melibatkan pembicaraan serius antar dua keluarga,” ingat Evita kepada salah seorang teman dalam lingkungan sosialitanya yang sudah dikenal angkuh dan keras kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIMELESS (END) (Tersedia E-book)
Romantik(Part sudah tidak lengkap) Mereka bertemu tak sengaja. Mereka terikat dalam benang takdir yang dipenuhi banyak warna dan juga air mata. Saat cinta bicara ternyata tak selalu dapat menautkan dua hati, ada banyak perbedaan yang menjadi penghalang. Saa...