Kinar Haiqia mengelap peluh di wajah dan lehernya. Mata sipit gadis itu bertambah kecil saat mencoba mendongak. Waktu tengah hari hanya kendaraan berlalu-lalang, sementara dia dengan sangat berani berjalan di bawah terik matahari. Kinar mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak lagi berjalan di siang bolong. Waktu yang seharusnya digunakan untuk rebahan sambil menonton tutorial make-up atau bagaimana terlihat langsing dalam waktu singkat, malah dihabiskan untuk mencari tempat kos yang nyaman. Gadis dua puluh satu tahun itu, menggunakan banyak cara untuk melindungi tubuh dari sinar ultra violet. Diantaranya, memakai payung super lebar, mengoleskan sunblock, dan baju tertutup agar kulitnya tidak gosong.
Ina, begitu teman-teman memanggil, merasa dirinya reinkarnasi Cleopatra. Dia bertekad menjaga kecantikan agar leluhurnya tidak ngambek yang bisa mengakibatkan pesonanya berkurang 2,5 persen. Beberapa temannya menganggap Ina pengkhayal tingkat tinggi. tetapi bagi gadis bertubuh subur itu, berhalu ria adalah hobi yang menyenangkan, lagi pula gratis.
Setelah berkeliling bertanya kepada orang-orang di mana arah alamat yang dia pegang, masuk-keluar gang kecil, dan sempat-sempatnya ber-say hello dengan kucing yang berpapasan--karena dia pencinta binatang berbulu--Ina bengong menatap rumah lantai dua di hadapan. Rumah itu biasa saja. Semua dinding luar dicat putih, pagar setinggi dua meter berwarna hitam dengan ujung seperti tombak, dan pohon jambu klutuk juga mangga berdiri kokoh di halaman.
Namun, yang membuat Ina mematung di depan pagar adalah, dia melihat wanita memakai daster, seluruh rambut dipasangi rol, pelipis ditempeli koyo cabe yang dia tebak merk 'salonpas', dan rokok diselipkan di sudut bibir, mengingatkan pada sosok juragan galak pemilik kos-kosan di film 'Kungfu Hustle'. Ina bergidik ngeri, 'jangan-jangan sifatnya juga sama persis seperti di film'. Kalimat itu yang muncul di kepala Ina membuat gadis tersebut memutuskan mencari tempat kos lain. Belum sempat kaki mengeksekusi rencananya, seorang wanita juga sudah berdiri di sampingnya.
Ina harus mendongak untuk melihat rupa seseembak yang menghalangi rencananya untuk kabur. Nyaris mulut si gadis yang dalam mode 'mangap', dimasuki laler yang ingin bertamu kalau tak refleks beralih ke mode 'mingkem'. Sepertinya GPS laler itu kacau dan mengira mulut Ina, sarangnya. Tadinya, gadis itu mengira Cleopatralah lambang kecantikan paling masyur, tetapi dia meralat asumsinya itu. Seseembak di sampingnya jauh lebih cantik. Ina memperkirakan tingginya 180 cm, tubuhnya juga sangat indah. Bukan lagi gitar Spayol, tetapi mirip ukulele simbahnya di kampung. Jangan ditanya kulitnya, nyamuk aja bisa mengira itu prosotan.
Ina insecure melihat kecantikan yang hakiki tersebut.
"Mbak mau kos di sini juga." Ina menegur pelan.
Seseembak itu mengangguk tanpa melihat Ina. "Kayaknya enggak jadi deh," balasnya masih menatap ke depan. "Pemiliknya keliatan galak, bisa-bisa makan hati kos di sini."
Ina diam. Dia ikut memperhatikan wanita berdaster tadi. Wanita itu sedang menggebuk kasur yang dijemur sekuat tenaga. Gimana enggak kuat, suara gebukkannya saja bergetar ke kuping keduanya.
"Tapi kosannya keliatan nyaman, Mbak." Ina memberi pertimbangan. Dia memanggil Mbak karena yakin wanita itu lebih tua darinya.
"Nyaman kalau enggak damai, buat apa?"
Ina manggut-manggut membenarkan. Dia menyimpulkan, mbak cantik mirip Sabina, atlet voli dari Uzbekistan itu, penganut sekte irit berkata-kata, wajahnya juga datar-datar saja. Tidak ada emosi terlihat di rautnya.
"Tapi, Mbak, aku pernah baca. Don't judge a book by it's a cover." Ina menerawang, mungkin mengingat di mana pernah membaca kalimat tersebut.
Si mbak cantik akhirnya menoleh ke arah Ina. Bibir merahnya yang tipis, terkatup rapat. Sepertinya celutukkan gadis itu dapat diterima otaknya. Tepat saat mbak cantik menatap Ina dan Ina menerawang, wanita berdaster tadi mendekat. Dia menyandang alat penggebuk kasur yang terbuat dari rotan ke bahunya. Dengan sorot mata menyelidik dia menatap dua perempuan yang berdiri di depan pagarnya.
"Hei, ngapain berdiri bengong depan rumah saya?" Wanita itu bertanya dengan tangan kiri memegang pinggang, sementara tangan kanan mengacungkan penggebuk kasur ke depan.
Sontak Ina mengamankan dirinya dengan berdiri di belakang mbak cantik.
"Enggak bengong, kok, Buk. Mengamati saja," jawab si mbak dengan wajah datar. Ina menarik-narik baju si mbak, memberi isyarat agar pergi saja. Bener, kan, ibu kos-annya rada kil-ler.
Wanita pemilik rumah yang menurut Ina mirip Yuen Qiu itu membuka pagar dengan sebelah tangan membuat Ina berspekulasi dia dulunya seorang laki-laki.
"Ngapain ngamatin rumah saya? Emang rumah saya aneh? Ada demitnya?" Alih-alih marah, wanita itu ikut berdiri menghadap rumahnya. Jadilah, rumah besar di depan mereka objek yang tak tahu apa-apa.
"Rumah Ibu bagus, bersih, dan terlihat sangat terawat." Mbak cantik memuji, diaminkan oleh Ina, walau gadis itu masih betah ngintil di belakang mbak cantik.
"Huum. Saya enggak suka rumah kotor. Saking bersihnya, saya nyapu lebih sepuluh kali sehari."
"Wah, dilem saja sapunya ke tangan Ibuk," seloroh Ina yang sudah keluar dari persembunyian. Alhasil, celutukkannya itu berhasil mendapat tatapan sengit dari wanita tersebut, plus alis bertaut dari mbak cantik.
"Emm, maksud Ina ... Ibu rajin." Maksud hati ingin memuji Ina mengacungkan dua jempol ke depan wajah si ibu.
Wanita pemilik rumah melengos dengan wajah memerah. Bukan tersipu sebab pujian Ina, tetapi karena sinar matahari yang semakin eksis di atas kepala.
"Saya sebenarnya mau nyari tempat kos, Buk." Si mbak cantik bersuara lagi.
"Oh, mau ngekos. Boleh, asal jangan jorok, ya." Wanita itu melirik Ina. Terlihat gadis itu dilema mau senyum atau mingkem, akhirnya memilih nyengir. Tak apa, bisa membuat suasana sedikit rileks.
"Saya sangat bersih, Buk. Bahkan, sangat teliti pada apa saja. Meletakkan sesuatu tetap di tempatnya adalah prioritas saya. Mengawasi yang masuk dan keluar. Data-data tidak valid saya korek sampai dasar dan kalau ada kesalahan akan saya laporkan langsung kepada tim pengawas."
Ina dan wanita pemilik rumah kompak melongo mendengar penuturan si mbak cantik. Sepertinya, seseembak itu sedang mendeskripsikan pekerjaan, bukan dirinya. Mau tidak mau, keduanya mengangkat dua jempol mereka. Kompak lagi.
"Lah, kamu mau ngapain?" tanya Wanita pemilik rumah kepada Ina.
Ina sigap menjawab, "Ina juga mau nyari kosan, Buk. Ina liat iklan di koran. Ina udah bela-belain jalan kaki jauh, lho, Buk. Mana panas lagi."
Gadis itu bicara panjang agar pemilik rumah itu mengerti kode yang ingin dia sampaikan. Ya, kali mereka deal to deal soal kos-kosan di pinggir jalan disaksikan orang yang hilir-mudik dan matahari yang bersinar garang. Mbok, ya, diajak masuk, disuguhi es sirup, dan cemilan. Kalau bisa dikasih makan siang nasi padang. Kan, cakep.
"Enggak nanya," jawaban wanita tersebut, singkat, membuat harapan Ina sirna seketika. Fiks! Wanita itu titisan ibu tiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Tanpa Narasi
RomanceWanita pemilik rumah melengos dengan wajah memerah. Bukan tersipu sebab pujian Ina, tetapi karena sinar matahari yang semakin eksis di atas kepala. "Saya sebenarnya mau nyari tempat kos, Buk." Si mbak cantik bersuara lagi. "Oh, mau ngekos. Boleh...