Wanita pemilik rumah melengos dengan wajah memerah. Bukan tersipu sebab pujian Ina, tetapi karena sinar matahari yang semakin eksis di atas kepala. "Saya sebenarnya mau nyari tempat kos, Buk." Si mbak cantik bersuara lagi. "Oh, mau ngekos. Boleh, asal jangan jorok, ya." Wanita itu melirik Ina. Terlihat gadis itu dilema mau nyengir atau kalem, akhirnya memilih nyengir. Tak apa, bisa membuat suasana sedikit rileks. "Saya sangat bersih, Buk. Bahkan, sangat teliti pada apa saja. Meletakkan sesuatu tetap di tempatnya adalah prioritas saya. Mengawasi yang masuk dan keluar. Data-data yang tidak valid. Kalau ada kesalahan, saya akan melaporkan langsung kepada tim pengawas." Ina dan wanita pemilik rumah kompak melongo mendengar penuturan si mbak cantik. Sepertinya, seseembak itu sedang mendeskripsikan pekerjaan, bukan dirinya. Mau tidak mau, keduanya mengangkat dua jempol mereka. Kompak lagi. "Lah, kamu mau ngapain?" tanya Wanita pemilik rumah kepada Ina. Ina sigap menjawab, "Ina juga mau nyari kosan, Buk. Ina liat iklan di koran. Ina udah bela-belain jalan kaki jauh, lho, Buk. Mana panas lagi." Gadis itu bicara panjang agar pemilik rumah itu mengerti kode yang ingin dia sampaikan. Ya, kali mereka deal to deal soal kos-kosan di pinggir jalan disaksikan orang yang hilir-mudik dan matahari yang bersinar garang. Mbok, ya, diajak masuk, disuguhi es sirup, dan cemilan. Kalau bisa dikasih makan siang nasi padang. Kan, cakep. "Enggak nanya," jawaban wanita tersebut, singkat, membuat harapan Ina sirna seketika. Fiks! Ibu itu adalah titisan ibu tiri.
13 parts