Pertemuan

17 3 0
                                    

Nika tak bisa lagi menahan tawanya saat melihat wajah cemberut Ina. Dia sengaja berjalan di depan Ina agar gadis tersebut tak semakin kesal. Bagaimana tidak tertawa, wajah merah Ina sangat lucu. Gadis itu gelagapan mencari alasan untuk membayar barang-barang yang telah dibeli. Bisa saja Ina membatalkan, tetapi gadis itu keukeh mempertahankan barang tersebut dengan mengatakan dompetnya jatuh. Alasan yang sangat tidak masuk akal. Kasihan melihat wajah panik Ina, Nika mendekat. Akan tetapi, Alvian lebih dulu menggesekkan kartu debetnya ke mesin EDC.

"Mbak jahat! Malu aku di depan Alvian." Ina bersungut-sungut sepanjang jalan dengan wajah cemberut.

Bukannya simpati tawa Nika semakin keras sampai terbungkuk-bungkuk memegang perutnya.

Melihat reaksi Nika yang sangat amat girang di atas penderitaannya, Ina malah membuka kantong belanjaan temanya itu. Dengan santai gadis tersebut menarik satu snack kentang dengan merk ternamanlalu membukanya. Dia pikir cara itu pembalasan paling enak. Biarin diketawain yang penting dapat gratisan.

"Ih, kok, malah dimakan." Tawa Nika berhenti juga. Dia bertanya dengan dahi berkerut.

Ina mengangkat bahu tak acuh. "Salah sendiri ngerjain Ina." Gadis itu mengambil lagi sebotol youghurt merek chimory rasa melon lalu menyerahkan kantong belanjaan kepada Nika. "Nih, pegang sendiri. Ina mau ngemil." Setelah menyerahkan kantong belanjaan, giliran Ina yang meninggalkan Nika di belakang.

'Ish! Untung aku mulai sayang, kalau enggak kujadikan umpan hiu!' Nika membatin, sambil melihat isi kantong belanjaannya.

"Eh, kayaknya kamu kenal banget sama kasir tadi? Kenal di mana?" Nika menyusul Ina dan menyamakan langkah mereka.

Ina tersenyum. "Mas Alvian itu satu kampus sama Ina. Satu fakultas pula. Dia idola di kampus lho, Mbak," jelasnya dengan mata berbinar. "Saking gantengnya sampai-sampai cahaya bulan tidak kelihatan di siang hari."

'Yaelah, lebay! Siang hari mana ada cahaya bulan!'  Nika sepertinya sudah ketularan sifat oleng Ina. Dia nanya sendiri, aneh sendiri, malah jawab sendiri.

"Kamu ngidolakan juga?" Nika memilih berhenti di bangku beton yang ada di dekat taman. Dia tak tahu mengapa mereka kembali ke taman. Keduanya hanya mengikuti langkah kaki.

Lagi-lagi Ina tersenyum. "Aku suka sama BTS, Mbak. Mas Alvian itu mirip Suga BTS, kan, Mbak?"

Nika mengangguk. Meski bukan seorang Army, tetapi dia kenal lagu-lagu K-pop idol itu. Dia akui, lagu yang dinyanyikan BTS sangat bagus.

Ina duduk di sebelah Nika, wajahnya tiba-tiba berubah murung.

"Sayangnya, banyak yang suka sama dia. Cantik-cantik, tu-buh mereka juga kurus-kurus. Enggak kayak bodyku.'

Nika yang sedang membuka tutup botol air mineral melihat Ina sejenak. Sambil meneguk minuman tersebut, dia menebak, gadis itu sangat tidak percaya diri dengan fisiknya.

"Ina, denger, ya ...." Nika berkata, sambil merangkul bahu temannya itu. "Cantik perempuan itu bukan karena fisik doang. Perkara cantik atau jelek, tergantung cara orang melihat kita. Kalau mereka liatnya dengan kebencian kita kayak setan. Coba kalau liat pakai hati yang bersih pasti cantiknya melebihi bidadari."

"Masak ada bidadari gendut," celutuk Ina dengan wajah ditekuk. Dia memutar-mutar botol minumannya.

"Aku bilangin, ya. Kalau orang yang beneran suka sama kita enggak akan pernah liat fisik. Banyak, kok, yang lebih mengutamakan attitude, kecerdasan. Manusia itu enggak ada yang sempurna, kalau kita kurang di fisik pasti punya kelebihan yang lain."

Mendengar nasehat Nika, Ina mengangkat pandangannya. "Wah, Mbak Nika hebat juga, ya, jadi motivator. Pasti pacar Mbak beruntung banget. Udahlah cantik, mapan, pinter lagi." Ina menggeser tubuhnya menghadap Nika. "Eh, siapa, sih, pacar, Mbak? Penasaran."

Perempuan Tanpa NarasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang