Aku bukan murahan

19 2 4
                                    

Nika membayar ongkos ojek setelah sampai di tempat yang disebutkan Ibra. Gadis itu menolak pergi satu mobil dengan sang pria. Dia tak ingin keputusan untuk menjauh dari keluarga pria tersebut, goyah. Dia juga tak ingin perenungan panjang dan rasa bersalah yang setahun belakangan ini menggerogoti, menjadi sia-sia.

Langkah Nika berat masuk ke dalam restoran bernuansa tradisional yang dipilih Ibra. Dia mengikuti petunjuk yang dikirimkan sang pria ke WhatApps-nya. Nika berjalan lurus lalu berbelok ke arah kiri. Tepat di dekat jendela, di pojok restoran Ibra terlihat duduk sambil mengutak-atik telepon pintarnya.

"Aku enggak punya banyak waktu. Sebaiknya cepat katakan ada apa," ucap Nika ketus. Dia duduk tepat di hadapan sang pria.

Ibra mendongak, matanya menangkap wajah Nika yang tidak bersahabat.

"Kenapa kamu pindah?" tanya Ibra menatap lekat.

"Karna aku pengen pindah. Apa ada larangan?" jawab Nika cepat.

Ibra menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dia mengembuskan napas perlahan.

"Harusnya kamu bilang aku kalau mau pindah. Aku bisa carikan tempat tinggal buat kita."

"Kita?!" Mata Nika membulat mendengar ucapan Ibra. "Enggak ada lagi kita. Semua udah berakhir!"

Ibra menggeleng. "Aku enggak mau kita pisah."

Nika tertawa getir. Hampir saja dia terhipnotis dengan cara pria itu menatapnya, tetapi dia menguatkan hati. "Kamu sadar enggak, sih, apa yang kamu katakan? Kamu itu suami orang, aku enggak mau ngancurin rumah tangga kalian."

Nyaris saja Nika meluapkan semua emosinya, tetapi dia masih berusaha menahan mengingat restoran itu tempat umum.

"Sayang ...." Ibra mencoba meraih tangan Nika, tetapi gadis itu menepis dengan kasar. "Kamu enggak hancurin rumah tangga aku. Toh, aku sama Mirna masih baik-baik aja."

"Aku yang enggak baik-baik!" desis Nika dengan mata berkilat marah. "Sampai kapan kamu jadikan aku simpanan? Sampai kapan kamu jadikan aku pemuas nafsu liarmu itu?!"

Ibra terdiam. Dia menyugar rambutnya dengan wajah frustasi. Nika yang sekarang berbeda dengan gadis manis dan lembut yang dia temui dulu. Tiga tahun lalu, sejak asmara terlarang mereka dirajut gadis yang memiliki mata indah itu membuatnya tergila-gila@, sehingga mampu melupakan Mirna yang saat itu baru saja melahirkan. Pertemuan keduanya tak disengaja, saat Ibra menghadiri sebuah undangan untuk  semua alumni high scholl.  Pria berdarah asli Indonesia tersebut sempat bersekolah di salah satu sekolah setingkat Sekolah menengah Atas di negara bagian Autralia, New South Wales.

Setelah acara selesai, Ibra memutuskan berjalan-jalan di Cable beach yang terletak di Broome, Autralia Barat. Pantai itu merupakan tempat wisata paling populer di negara bagian tersebut. Hamparan pasir putih dan birunya Samudera hindia membuat tempat itu seperti surga dunia. Apalagi saat menantikan matahari terbenam. Seperti melihat bola api raksasa tenggelam perlahan-lahan ke dalam laut.

Mata Ibra terpaku melihat seorang gadis berdiri di tepi pantai sambil memotret sunset. Kulit putih yang terpapar cahaya matahari senja dan rambut kecoklatan yang berkibar diembus angin laut membuatnya melihat sosok bidadari yang selama ini ada di cerita anak-anak. Ibra mendekat dan mengajak gadis yang dia ketahui bernama Nika itu berkenalan. Siapa mengira mereka menginap di hotel yang sama. Satu minggu dihabiskan Ibra bersama Nika. Hingga setelah pulang ke negara masing-masing--saat itu Nika masih tinggal di Rusia bersama keluarganya--hubungan itu masih terus berlanjut melalui telepon.

Satu kesalahan Ibra berlanjut ke kesalahan kedua. Pria itu mengaku masih single membuat Nika menerima cinta sang pria. Setahun berhubungan jarak jauh Nika memutuskan menetap di negara asal ibunya, Indonesia. Terang saja Ibra sangat senang. Dia lupa anak dan Istri. Enam bulan pertama semua baik-baik saja, tetapi semua dustanya terbuka saat Nika bertemu dengan Mirna di tempat prakteknya.

"Kenapa kamu diam?" Suara Nika memecah gelembung ingatan masa lalu yang beterbangan di kepala Ibra. "Sejak awal kamu udah bohong sama aku dan aku sangat bo-doh percaya begitu saja dengan omongan kamu," lanjutnya dengan mata mulai berkaca-kaca.

"Maaf, aku jatuh cinta sama kamu. Aku enggak mau kehilangan kamu," ujar Ibra pelan, dia berusaha meraih tangan Nika dan menggenggam erat. "Kita mulai lagi dari awal, ya. Kita pasti bisa menjalani ini semua."

Nika terdiam. Sorot mata Ibra masih seperti biasanya, penuh cinta dan kasih sayang untuknya. Batin gadis itu menjerit, mengapa begitu susah melepaskan jeratan cinta sang pria? Salahnya memberikan seluruh rasa untuk pria tersebut hingga tak menyisakan bagi dirinya sendiri.  Harusnya saat mengetahui Ibra telah menikah dia mundur. Akan tetapi, dia malah mengiyakan ajakan gila sang pria untuk tinggal di paviliun mereka. Tinggal bersama istri dan anak-anak pasangan suami istri tersebut.

Setiap hari melihat kemesraan Mirna dan Ibra, juga keharmonisan keluarga mereka. Rasa bersalah menu-suk dada Nika sangat dalam. Mengapa harus masuk ke tengah keluarga bahagia tersebut? Akan tetapi, dia juga tak bisa mundur karena cinta butanya pada sang pria. Dia bertahan meski harus dibakar rasa cemburu setiap hari.  Pernah terselip pikiran jahat menghasut ke dalam kepalanya. Kenapa tidak meminta Ibra menceraikan Mirna dan menjadikan dia satu-satunya? Toh, kedua anak mereka sangat dekat padanya.

Namun, sedikit kewarasan masih bersarang di dalam benak Nika. Rasa sayang kepada si kembar juga membuatnya berpikir. Perempuan seperti apa dia jika menghancurkan kebahagiaan keluarga Mirna hanya demi keinginan meraih Ibra untuk dirinya seorang saja. Dia bercermin pada hidupnya sendiri di mana sang papa juga meninggalkan mamanya hanya untuk menikah dengan seorang sekretaris. Masih lekat di ingatan Nika bagaimana sang mama meregang nyawa karena depresi akibat perselingkuhan suaminya.

"Sayang, mau, ya, aku akan carikan apartemen buat kita. Biar kita bisa bebas seperti dulu."

Nika tersenyum tipis, dia menajamkan mata ke arah Ibra, seperti seorang predator mengintai mangsanya.

"Baiklah, aku bersedia, tetapi ceraikan dulu istrimu dan nikahi aku."

Senyum Ibra mendadak surut mendengar permintaan Nika. "Kamu tau aku enggak bisa melakukan itu. Aku enggak bisa menceraikan Mirna dan anak-anak--"

Nika menepis tangan Ibra yang menggenggam tangannya. Dia bangkit dan mencondongkan badan ke arah sang pria.

"Kalau begitu jangan pernah lagi masuk ke hidupku. Aku bukan perempuan mura-han yang menggantungkan hidup padamu. Aku mandiri, cantik, dan kaya raya. Seratus pria sepertimu bisa kudapatkan. Sayangnya, aku enggak mau jadi penghancur rumah tangga orang. Camkan itu!"

Setelah memuntahkan amarahnya, Nika melangkah cepat meninggalkan Ibra yang membeku mendengar semua kata-kata si gadis. Seperti  ratusan jarum-jarum yang memba-ra di ujungnya, meluncur lalu menancap tepat ke ulu hati.


Perempuan Tanpa NarasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang