"Pokoknya kagak mau tau. Setoran kemarin mesti dicukupin hari ini. Masak kurang mlu."
Niat Ina turun dari tangga surut melihat Mami Lili sedang memberi ceramah pagi kepada dua orang pekerjanya, Prapto dan Dewo. Ocehan wanita yang mengenakan daster motif batik dan rambut digulung rol itu, dia perkirakan mencapai lima puluh kata permenit. Hebatnya, meski gebut, artikulasi Mami Lili sangat jelas. Ina sampai melongo mendengarnya. Sepertinya dia harus berguru kepada Ibu kos tersebut agar sukses menjadi penyiar radio. Jangan ditanya apa hubungannya. Sejak kecil cita-cita Ina menjadi penyiar. Membayangkan duduk di dalam studio, berinteraksi dengan pendengar lalu dikagumi tanpa melihat wajah sang penyiar, terlihat keren bagi gadis tersebut.
"Heh, liatin apa?" Nika yang sudah siap dengan pakaian olah raga, menepuk bahu Ina.
"Ssst!" Ina menempelkan jarinya ke bibir. "Jangan keras-keras, Mbak. Mami lagi ceramah di bawah. Mbak mau kena sial pagi-pagi?"
Nika memanjangkan leher melihat ke bawah. Objek gibahan Ina terlihat duduk anteng, sambil menyeruput kopi. Sepertinya Mami Lili sudah selesai berolahraga mulut.
"Yuk, ah, turun! Katanya mau joging. Malah neplok di pegangan tangga." Nika berjalan menuruni tangga.
"Ih, si Mbak. Masih mending aku nemplokin di tangga, coba nemplok suami orang bisa dituduh pelakor!" seru Ina.
Seketika Nika mematung. Ucapan Ina menohok dadanya.
"Kalau dia enggak tau, kan, enggak salah," balas Nika. Entah mengapa bibirnya melakukan pembelaan.
"Kalau udah tau masih ngelakor pasti salah, Mbak." Ina membalas lagi sambil mendahului Nika menuruni tangga.
Nika yang masih terpaku di anak tangga terakhir merapatkan bibirnya. Otaknya membenarkan celutukkan Ina. Sudah tahu, tetapi tidak menghentikan perbuatan itu jelas salah. Susah payah gadis blasteran itu menahan sesak yang kembali menghantamnya. Berulang kali mengatakan pada diri sendiri tidak ada yang salah dengan perasaannya, hanya saja keadaan yang membuat semua terlihat serba salah.
"Mbak! Jadi pergi enggak, sih?" Ina memanggil Nika yang masih mode frezee di tangga, tepat saat Mami Lili juga melihat keduanya.
"Rapi banget, mau ke mana pagi-pagi gini?" Mami Lili mendekat sembari menelisik pakaian Ina dari kepala sampai kaki.
"Mau hajatan Mami," jawab Ina asal-asalan, sukses mendapat pelototan dari si wanita. "Lagian Mami nanyanya yang bener aja. Masak pakai baju olah raga kece badai gini mau hajatan. Sekalian kenalan sama daerah sini. Enggak lucu, kan, Mi, nyasar ke kos-an sendiri?" Ina terpaksa menjelaskan karena takut di-PHK Mami Lili. Masa baru dua hari ngekos udah pindah lagi?
Mami Lili mengibaskan tangan di depan wajahnya. Dia mengeluarkan telepon pintar dari saku daster.
"Kosan Mami ini udah kenalan sama satelit. Ketik aja di google, toko kue Mas Dudi pasti ketemu."
Ina melihat hasil pencarian di telepon Mami Lili. Dahi gadis itu berkerut.
"Mi, itu, kan, toko kue? Nyasar dong."
"Sini!" Mami Lili mengajak Ina mengintip lewat sela-sela pagar. Menunjuk satu toko yang berada tepat di depan rumah kos mereka.
"Itu toko kue Mas Dudi. Nah, kosan kalian ada di depannya," jelas Mami Lili melirik ke arah Nika yang ikut mengintip.
Seketika Ina mendesah keras. Bukan dia saja yang mode lemot. Ibu kosannya yang terlalu pede. Ina hendak memprotes, tetapi lebih dahulu dicegah Nika.
"Ya udah, Mi. Kita muter-muter komplek dulu, ya." Nika menarik tangan Ina yang hendak menggerakkan bibirnya sebelum gadis itu bertanya lagi.
Mami Lili tersenyum sambil dadah dan berseru, "Kalau inget beliin Mami sarapan, ya!"
Nika mengangkat jempolnya ke atas, berbeda dengan Ina yang bersungut-sungut karena pertanyaannya belum tuntas dijawab.
*
"Mbak, Mbak! Kita mampir ke mini market yang itu, ya," ajak Ina saat melihat salah satu mini market bertuliskan Alfamart.
"Mau beli apa? Di situ aja." Nika menunjuk mini market lain yang lebih dekat dengan tempat duduk mereka.
Setelah memutari komplek tempat tinggal mereka, kedua gadis itu terdampar di taman kota. Dari tempat keduanya duduk bisa dilihat hamparan hijau bak permadani indah. Pohon-pohon akasia dan beringin tumbuh merimbun dan kokoh di taman tersebut. Sepertinya tempat itu sangat cocok untuk menyegarkan pikiran. Melihat dedaunan hijau dan daun yang luruh ke atas rumput menciptakan gradasi warna yang sangat indah.
"Di sana aja, Mbak. Lebih lengkap." Ina bersikeras.
Tangan Nika yang sedang membersihkan rumput basah di sepatunya seketika berhenti. Dia menatap Ina dengan sorot curiga. "Kamu pernah ke sana?"
"Enggak." Ina mengganguk. Sadar jawaban dan gerakan yang tidak sinkron, gadis tersebut menutup mulut dengan tangan kanannya membuat Nika semakin curiga. Namun, dia menyimpan rasa penasarannya.
"Okeh, kebetulan aku juga ada yang dibeli."
Senyum Ina merekah, dia bangkit dari duduk dan menarik tangan Nika saking bersemangatnya. "Ya udah, sekarang aja Mbak."
Nika tak menolak. Dia ingin tahu hal apa yang membuat wajah Ina seketika ceria. Gadis yang tadinya mengeluh capek dan terlihat lemas, tiba-tiba saja seperti memiliki tenaga lebih.
"Hayuk masuk!" Nika menarik tangan Ina yang masih berdiri di depan pintu mini market.
Alih-alih gadis itu malah celingukkan melihat ke arah kasir. Wajah yang tadi ceria semakin merona. Persis raut Mami Lili kalau setoran ojeknya berlebih.
"Duh, mau belanja enggak, sih?" Nika tak sabarannlalu meninggalkan Ina begitu saja. Entah apa yang dicari gadis tersebut.
"Emm, Mbak mau beli apa?"
Nika menoleh dan mendapati Ina sudah mengintil di belakangnya.
"Beli kebutuhan harian aja, kenapa?"
"Enggak pa-pa, sih." Ina kembali mengitari mini market dengan matanya. Nika menebak gadis itu sedang mencari seseorang, entah siapa.
"Kamu enggak jadi belanja?" tanya Nika. Dia heran, bukannya memilih belanjaan Ina malah mengikuti langkahnya.
"Enggak jadi, deh, Mbak. Dompetnya ketinggalan."
Dahi Nika berkerut. "Perasaan dari pergi kamu enggak bawa dompet.
Pernyataan Nika hanya ditanggapi Ina dengan kekehan kecil.
"Eh, Mbak. Udah, kan, belanjanya. Bayar, yuk, mumpung sepi kasirnya."
Nika tak sempat mengelak saat Ina menarik keranjang belanjaannya lalu dengan sigap melangkah ke meja kasir. Mau tidak mau dia mengikuti. Dia ingin tahu apalagi ulah aneh temannya tersebut.
"Mas Alvian, hitungan belanja aku, ya," pinta Ina dengan senyum semanis mungkin.
Mata Nika melebar mendengar nada bicara Ina yang sangat lembut, plus senyum manis yang sengaja gadis itu ulas. Dia memperhatikan interaksi keduanya. Sepertinya mereka sudah saling mengenal. Perlahan tawa kecil keluar dari bibirnya, karena paham apa yang sedang terjadi.
"Ada yang lucu Mbak?"tanya sang kasir yang bernama, Alvian.
Nika menggeleng. "Enggak, aku ingat kejadian lucu, makanya ketawa, maaf."
Alvian tersenyum. Senyum yang sangat manis. Mau tidak mau Nika jadi memperhatikan wajah pria tersebut. Wajahnya sangat tampan, persis salah satu personel BTS, Suga. Pantas saja Ina bela-belain mengajak belanja di sini. Ada cowok incarannya rupanya.
"Semuanya seratus tujuh puluh dua ribu," ucap Alvian setelah selesai menghitung belanjaan Nika.
Nika pura-pura tidak melihat. Dia lebih dulu menyingkir ke rak yang agak jauh dari tempat Ina berdiri. Melihat gadis itu kebingungan membuatnya tak bisa menahan tawa sekaligus kasihan.
Rasain, siapa suruh modus!
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Tanpa Narasi
RomanceWanita pemilik rumah melengos dengan wajah memerah. Bukan tersipu sebab pujian Ina, tetapi karena sinar matahari yang semakin eksis di atas kepala. "Saya sebenarnya mau nyari tempat kos, Buk." Si mbak cantik bersuara lagi. "Oh, mau ngekos. Boleh...