Muak sekali aku melihat meja yang penuh dengan kertas, cat air, kapur, dan berbagai media lainnya. Setumpuk buku-buku referensi juga ikut serta membuat pandangan semakin sesak. Muak memicu malas. Bukannya aku tak mau mengerjakan tugasku ini, tapi aku sedang dalam artblock. Tahu artblock? Nggak ada inspirasi, gitu.
Tugas ini untuk minggu depan, tapi entah mengapa rasanya ingin segera ku selesaikan. Sesuatu yang ditunda-tunda biasanya berakhir fatal. Iya, apalagi untuk mahasiswa DKV sepertiku yang tugasnya harus "mengerti" perintah atau permintaan.
Ohiya. Kenalkan, namaku Vino Fikriansyah. Biasa dipanggil Vino. Mahasiswa semester dua di sebuah universitas di Jakarta dengan beasiswa. Aku bersyukur mendapatkan itu, karena keluargaku tidak semampu itu untuk membiayaiku sampai jenjang setinggi ini. Ayahku sendiri bekerja di universitas ini sebagai kepala petugas kebersihan dan keamanan.
Itulah mengapa aku tidak ingin menyia-nyiakan segalanya. Tapi setelah dipikir-pikir, ada baiknya aku istirahat sejenak. Sudah tiga jam aku duduk di sini tanpa hasil, rasanya sia-sia juga kalau diteruskan.
Kubereskan dengan cekatan semua yang berantakan di meja ini, sampai semua alat dan buku berpindah ke dalam tasku dalam waktu kurang dari 5 menit. Hebat kan? Siapa dulu, Vino. Hahaha.
Seperti biasanya, akulah orang terakhir yang pulang dari gedung ini. Sebelum pulang, rutinitasku adalah mematikan lampu yang tidak terpakai dan mengecek pintu-pintu apakah sudah terkunci atau belum. Hitung-hitung membantu pekerjaan ayah.
Setelah mengecek ruangan terakhir, ku ambil lagi barang bawaanku yang sengaja kutinggal di dekat pintu keluar. Daripada mondar-mandir menggendong tas berat, lebih baik seperti ini.
Saat melangkah keluar, kudapati seorang gadis tengah duduk menggosok-gosokan kedua telapak tangannya. Sepertinya ia kedinginan dan tidak membawa payung.
"Nggak bawa payung?" tanyaku sambil membuka payungku dengan tangan kiri.
"Nggak hehehe," jawabnya lalu tersenyum. Bzt! Saat ia tersenyum, rasanya ada sengatan listrik di hati ini.
Entah keberanian dari mana, aku mengulurkan tangan kananku seraya bertanya
"Mau bareng?"
Ia membalas uluran tanganku tanpa pikir panjang. Setelah berdiri, kulepaskan tangannya. Saat tanganya menyentuh tanganku tadi, sengatan listrik di hatiku ini makin menjadi-jadi.
Untung payung ini cukup besar untuk kami berdua. Jadi kami tidak perlu berjalan berdua beriringan terlalu menempel. Aku tak mau di cap sebagai lelaki hidung belang atau apalah.
Dia aktif sekali mengajakku berbicara. Topik nya pun pas, sehingga perjalanan kami terasa singkat. Senang sekali rasanya bisa berbicara panjang lebar seperti ini. Biasanya aku kaku jika berhadapan dengan perempuan.
Tapi dia berbeda, pandangannya padaku mengatakan segalanya.
Kuharap sore ini menjadi awal yang baik bagi perkenalanku dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu, dan Hujan
NouvellesDi awal musim hujan, kita bertemu. A/N: Pertama dipublikasikan 2015. Ditinjau dan dipublikasikan ulang karena kesalahan EYD. Enjoy.