Bertemu Kembali

768 43 3
                                    

Esok harinya, aku kembali membawa payung misterius itu. Yah, lumayan. Jadi punya payung gratis hehe.

Aku berangkat dengan bis Trans Jakarta sendirian seperti biasa. Jangan kira aku tidak punya teman. Aku punya, namun tidak ada temanku yang rumahnya searah denganku. Jadiah aku selalu pulang-pergi sendiri, kecuali jika ada acara sampai malam, biasanya Lidya mengantarku sampai kos.

Di musim hujan seperti ini, siklus langit biasanya mirip. Mendung di pagi hari, kemudian mulai terik panas sekitar jam 7. Lalu langit mulai berubah kelabu lagi sekitar jam 1 siang. Tapi tentu saja itu bukan acuan pasti. Hujan bisa turun sesukanya tanpa diduga.

Tumben sekali bis ini penuh sesak. Biasanya selalu lengang, mengingat hari masih pagi.

Empat halte sebelum aku turun, seorang nenek nampak masuk diantara berjubel-jubel manusia yang memasuki bis ini. Tentu saja aku yang masih punya hati nurani menawarkan nenek itu untuk duduk di tempatku duduk tadi.

Ah, aku merutuki pilihanku mengenakan croptee tadi pagi. Postur tubuhku yang tidak begitu tinggi, ditambah aku harus berpegangan sambil berdiri membuat bajuku agak terangkat.

Tahan Yon, tiga halte lagi.

Di halte selanjutnya, untunglah hanya satu orang yang naik. Seorang pemuda dengan jaket putih.

Hey, sepertinya aku mengenalnya?

Setelah naik, ia berdiri di sampingku. Aku mencoba mencuri pandang pada wajah sampingnya.

Hmm... Vino?

Bagai mendengar isi hatiku, Vino menoleh ke arahku lalu tersenyum. Aku membalas senyumannya itu.

Tersisa dua halte lagi, tapi jaraknya cukup jauh. Aku menghela nafas memikirkan soal bajuku yang terangkat ini. Risih. Mana aku tidak membawa cardigan dan sebagainya.

"Duh, kok gerah ya?" Ujar Vino sambil melepas jaketnya, kemudian ia menaruhnya di pundakku.

"Nitip bentar ya? Panas, hehehe. Banyak orang sih," tambahnya lagi sambil tersenyum padaku. Aku hanya terdiam. Well, sepertinya dia memberikanku semacam kode.

"Pinjem ya Vin," balasku akhirnya sambil memakai jaketnya untuk menutupi tubuhku. Ya setidaknya, ini lebih baik.

Kami kembali terdiam. Selain karena bis ramai, aku merasa kikuk harus kembali berhadapan dengannya yang masih belum begitu kukenal.

"Eh, Vin bukannya rumah kamu gak di arah sini?" Tanyaku memecah keheningan. Hitung-hitung membunuh waktu sampai tiba di halte kampus.

"Iya Yon, lagi ada pengalihan arus jadinya rute 10 dialihkan kesini semua. Makanya jadi rame ya? Hehe"

Eh, dia mengingat namaku.

"Iya hehe, heran aja gitu biasanya sepi soalnya."

"Tapi kamu gak benci kan?"

"Ngapain mesti benci, cuma sesekali ini kan,"

Ia terdiam, lalu menggigit bibir bawahnya pelan. Eh? Apa jawabanku salah?

"Seminggu ini kemungkinan aku naik di rute ini terus Yon, soalnya pengalihannya seminggu."

Aku tidak mengerti apa hubungannya?

"Kamu nggak keberatan kan kalo tiap pagi kita ketemu gini?" Sambungnya.

Eh. Apa ini? Apa perasaan tak karuan yang berkecamuk dalam batinku? Apa lagi hubungannya dengan omongannya?

"Eh, ya nggak apa-apa lah. Kan ini transport umum. Aku ga ada hak ngelarang," jawabku.

Bis terus melaju sampai akhirnya bangunan kampus mulai terlihat. Tapi sayang, titik-titik air mulai bertamu di jendela bis.

Hujan tidak terlalu deras, syukurlah. Dan aku membawa payung, jadi tidak perlu repot-repot harus sepayung berdua dengan Vino lagi.

Aku menahan diri membuka payung. Iyalah, malu. Ada pesan di dalam payung ini. Takutnya si Vino mikir aneh-aneh. Jadi lebih baik aku menunggunya pergi dulu.

Ia membuka payungnya tepat di sampingku. Aku membelakkan mata. Terdapat tulisan di dalam payungnya, seperti payungku. Bedanya ini bertuliskan:

Hai Viviyona, senang bisa bertemu lagi denganmu.

Aku, Kamu, dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang