3 | Menjelma Rindu

17 6 5
                                    

315 SM

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

315 SM

"Wimo, jangan bermalas-malasan, kamu belom berlatih loh hari ini!"

"Aku tidak perlu berlatih," kata Wimo sambil menaikkan dagunya. Dia menaruh tangannya di pinggangnya dan berpose seperti ibu yang tengah mengandung 6 bulan. Siang itu sangat panas, siapa yang mau berlatih saat sang matahari sedang marah?

"Kamu pikir kamu yang terhebat di sini?"

"Apa?"

Wimo mengambil busur dan panah di ujung lapangan latihan dan membidik salah satu target. Dia memejamkan salah satunya matanya dan mengatur sudut bidiknya. Bahunya yang lebar dan pose berdirinya yang tegap membuat Wimo dipandang baik. Wimo menarik nafas dan melepaskan anak panahnya. Lagi-lagi, panahnya tertancap tepat di tengah papan bidiknya.

"Aku tidak pernah meleset".

Wimo memasang muka sombongnya dan berjalan keluar lapangan dengan pose ibu hamil yang sama. Dia meninggalkan semua orang dengan rasa tercengang dan tidak percaya diri dalam sekejap.

"Aku tidak pernah meleset? Dramatis sekali," ledek Aksara dari balik tembok batu yang mengelilingi lapangan. Langkah Wimo terhenti, dia kaget dan terdiam. Jantung mereka berdua sama-sama berdegup kencang, jika jantung Wimo berdegup kaget maka jantung Aksara berdegup kesenangan akan rindu.

"Kamu mengagetkanku, Aksara, setiap saat," kata Wimo, terkekeh canggung. Dia tidak bisa bergerak, hampir saja Aksara berhasil mengayunkan kapak ke lehernya dan kini dia terdiam dengan posisi ujung kapak berjarak 1 cm dari dagunya.

"Kamu tidak pernah waspada, sedari dulu," kritik Aksara, sudah kesekian kalinya dia mengucapkan kalimat kritik favoritnya.

Wimo menendang kaki Aksara yang membentuk posisi kuda-kuda lemah. Aksara jatuh ke tanah, bersamaan dengan nyaringnya bunyi kapak yang jatuh. Muka Aksara memerah, bukan karena cuaca yang panas, tapi karena malu. "Dan kamu tidak pernah menjaga keseimbanganmu," balas Wimo, dia menambah sedikit nada mengejek di akhir dialog.

"Dasar," tawa Aksara sembari berdiri, memegangi punggungnya yang nyeri. "Sana kembali ke kamarmu, istirahat Wim. Jangan sampai Dewi Athena melihat kita ngobrol kaya gini, kamu tahu kan akibatnya".

"Aku tahu, bawel," kata Wimo, acuh tak acuh. Mereka berdua berjalan berjauhan, sama seperti 10 tahun yang lalu, hidup dengan tampang orang cuek padahal mereka ingin bergandengan seperti dulu lagi.

.

Namun, dimanapun mereka berada, mereka tetap menginjakkan kaki di kekuasaan Dewi Athena. Mata-mata bersebaran dimanapun, bahkan semak daun bisa membisikkan rahasia terkecil kepada Sang Dewi. Hati Dewi Athena hancur lagi untuk yang kedua kalinya setelah dibisikkan rahasia kecil.

"Sebentar lagi mereka genap berumur 18 tahun, saat dimana halo di kepala mereka akan muncul seutuhnya. Haruskah aku membunuh salah satu pion terbaikku?" Dewi Athena lagi-lagi menghabiskan satu malam dengan meringkuk di ranjangnya, memikirkan satu keputusan sederhana.

SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang