4 | Puisi Duka

15 6 6
                                    

316 SM

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

316 SM

Hari ini akhirnya datang, hari dimana Dewi Athena memilih kaki tangannya. Semua prajurit di kuil Dewi Athena, termasuk Aksara dan Wimo, sangat ingin menduduki posisi ini. Posisi dimana akhirnya seorang manusia bisa hidup dengan layak dan menjadi pendamping dari seorang Dewi. Akan dipilih seorang yang terbaik dari para laki-laki dan seorang yang terbaik dari perempuan, mereka akan bertarung, ditonton dan dinilai oleh seluruh prajurit yang tak terpilih.

Wimo menghitung jumlah panahnya berulang kali, memastikan bahwa jumlah ganjil karena dia suka angka ganjil. Setelah memoles busurnya, Wimo mengencangkan sepatunya dan menginjakkan kakinya di luar kamarnya. Wimo terdiam sejenak, dia dan saudaranya benar-benar akan melawan satu sama lain.

"Wim?" sapa Aksara sambil menepuk pundak Wimo, membangunkannya dari lamunan di pagi hari. Wimo menatap mata Aksara, seolah-olah menolak untuk bertarung bersamanya.

"Aku tahu ini akan terjadi, Dewi akan membunuh salah satu dari kita secara tidak langsung. Mungkin ada hubungannya juga dengan serbuk putih itu," kata Aksara, yang menenangkan Wimo seolah-olah dirinya siap untuk melawan saudarinya.

"Aku tidak bisa, Aksa. Kamu adikku sendiri," Wimo memegang erat busur dan panahnya lalu bersandar ke dinding.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Aksara.

"Aku akan mengkhianati Dewi untuk yang kedua kalinya," jawab Wimo. Kepalanya menengok sedikit ke wajah Aksara, seolah ragu akan perkataannya sendiri. "Aku akan membuatmu tetap hidup, apapun yang terjadi".

"Jangan menangis, cengeng," kata Aksara, seseorang yang menahan tangis. "Aku tidak tahu rencanamu, yang jelas itu berarti kita sepakat untuk tidak saling membunuh, kan?".

Wimo mengangguk lalu tertawa kecil, mereka berdua berlari bersama ke lapangan.

Para penonton yang duduk mengelilingi lapangan mulai bertaruh, jumlahnya pun tidak sedikit. Sebagian mengidolakan sang laki-laki sulung, Aksara. Namanya berarti cahaya, dengan kapaknya yang bisa meruntuhkan sebuah gunung. Sebagian pula mengidolakan Wimo, yang berarti kegelapan, dengan panahnya yang tidak pernah luput.

Dewi Athena menyilangkan kakinya ke arah lain, tidak ada yang bisa menebak apa yang ada dipikirannya. Ia berdiri lalu membunyikan sangkakala, pertandingan dimulai!

.

Aksara dengan gesit berlari ke arah Wimo lalu mulai mengayunkan kapaknya sekuat tenaga. Meskipun begitu, Aksara hanya berpura-pura menyerang Wimo. Aksara mengayunkan kapaknya lebih lambat, membuat beberapa penonton kecewa.

Tiba-tiba, Wimo menghindar dengan serius dari ayunan kapak Aksara. Dia mengeluarkan panahnya, sekarang panah di tasnya berjumlah genap. Wimo menempatkannya di samping kanan busur dan menutup sebelah matanya, membidik adiknya yang kebingungan.

"Wim?"

SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang