5 | Sebuah Penantian

21 6 11
                                    

"Maaf Aksara," Wimo menghampiri sang adik yang terbaring lemah akibat panahnya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maaf Aksara," Wimo menghampiri sang adik yang terbaring lemah akibat panahnya sendiri. Matanya melihat ke arah telapak tangannya, tangan seorang pembunuh.

"Selamat, Anakku Wimo, kamu pantas mendapatkan kedudukan ini," Dewi Athena turun dari kursi tempatnya berdiam dan memeluk kaki tangan barunya itu.

"Haruskah Dewi melakukan ini? Inikah yang Para Dewa Dewi lakukan? Membuat manusia saling membenci?" tanya Wimo sambil memegang erat busurnya, ragu akan rencana gilanya.

"Apa maksudmu? Bukankah kamu juga menembak mati adikmu sendiri?" tanya Dewi Athena balik. "Atau apakah dia belum mati?"

Wimo mendongak ke atas, namun semua sudah terlambat. Dewi Athena menyuruh pelayannya untuk memeriksa Aksara dan benar saja, dia masih hidup.

"Kamu sengaja membidiknya di liontin kalungnya?" Dewi Athena melempar liontin kalung Aksara ke tanah, batunya pecah dan menjadi kerikil. "Bisakah kita berbicara enam mata?"

Dewi Athena berjalan menuju kuil, tidak seorang pun bisa mengatakan apakah dia terluka parah atau tidak. Tetapi dari hatinya, rasanya dia ingin meledak dan menaburkan api nan baka dimana-mana.

Cahaya bulan menyinari seluruh tubuh Aksara dan Wimo. Wimo sudah melepaskan busur dan panahnya ke tanah disampingnya. Wajahnya yang kurus, halus dan pucat, yang berkilau karena sinar bulan, menoleh ke wajah adiknya dengan eskpresi bersalah.

"Maaf, aku seharusnya tidak mengambil resiko," kata Wimo, pelan.

"Wimo, kamu tidak pernah meleset. Ingat itu," Aksara tersenyum dan tertawa dengan pelan. Dirinya yang sedang diborgol dan ditonton oleh semua penonton masih bisa tertawa. Mereka tidak peduli dengan yang disekitarnya, asal mereka bersama.

.

"Mengapa kalian mengkhianatiku?" tanya Dewi Athena, untuk yang keseribu sekian kalinya. "Apakah yang kuberikan selama ini belum cukup?". Sungguh ironis, kenyataan bahwa Dewi Athena melarang rakyatnya untuk peduli namun dirinya sendiri ingin dipedulikan.

"Tidak ada yang salah dengan rasa peduli, Dewi," jawab Wimo. "Demi adikku, Aksara, aku rela menipu seorang Dewi dan di sinilah aku, terjebak bersama orang dongo ini".

"Beruntungnya kalian," ucap Dewi Athena. Dia melihat ke telapak tangannya, serbuk putih masih membekas kemerahan. "Sepertinya aku telah dibutakan oleh dendam. Melihat kalian, aku teringat seseorang yang membuatku hancur begini," Dewi Athena menertawakan dirinya sendiri. Dia menatap kedua anak kesayangannya, seolah mengatakan maaf yang tidak berani diucapnya.

"Walaupun kamu tidak menyadarinya, selama ini aku bisa hidup berkat Dewi. Dewi adalah penyelamat yang datang untuk menghancurkanku. Terima kasih, Ibu," kata Wimo. Aksara tertegun, kakaknya telah tumbuh dewasa. Dewi Athena tersenyum berkat kata Ibu, untuk pernah kalinya dalam sekian tahun dia bisa kembali merasakan euforia.

Akhirnya, Aksara dan Wimo diangkat menjadi kaki tangan Dewi Athena yang tidak terkalahkan. Aksara dinobatkan menjadi Dewa Matahari dan Wimo dinobatkan menjadi Dewi Bulan, saling melengkapi antara siang dan malam, menyajikan duet yang tidak terkalahkan.


"Like a well-made film, you make me feel special.

You got me giving meanings to small things, you make me want to live"

©LeeHi - Savior (Feat. B.I)

SaviorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang