Permen Kapas

1 2 2
                                    

Ranu berhenti mendadak. Berpikir sejenak. Kemudian mundur beberapa langkah. 
       
"Pas, di sini." desisnya pelan. Dia menjatuhkan tubuhnya pada sebuah kursi di sudut ruangan.
       
Kafe hotel ini sepi. Sekarang memang sudah lewat waktu sarapan, dan makan siang masih lama nanti.
       
Ranu memperhatikan sekeliling ruangan. Sejak sampai kemarin siang di sini, dia baru menemukan tempat ini. Kafe yang nyaman. Kursi dan meja disusun agar pelanggan betah berlama-lama. Hiasan dinding tali makrame menjuntai di beberapa titik. Lampu-lampu gantung bertudung bambu sangat estetik. Di sudut lain tempat Ranu duduk, dinding terbuka menampakkan taman yang tertata rapi. Di sana, di salah satu kursi duduk seseirang yang rasanya Ranu kenal.
       
Gadis itu!
       
Meeting yang digeser jadwalnya menjadi sore nanti membiat Ranu tak punya aktivitas yang harus dilakukan. Dia juga sedang enggan berbaur dengan teman-temannya menikmati pantai sambil bermain air. Entah, keramaian malah membuatnya kesepian.
       
Ranu memperhatikan gadis itu. Gadis galak itu. Saat ini gadis itu tak terlihat galak. Dia sedang duduk tenang di kursinya. Di hadapannya sebuah notebook menyala di atas meja kayu oval yang unik.
       
Dia sedang apa? Main game? tanya Ranu pada dirinya sendiri.
       
Ah, tak mungkin. Dia memang sangat fokus, serius tapi tanpa emosi. Dia seperti sedang mengerjakan sesuatu? Tugas kuliah?
       
Bukan. Coba lihat wajahnya, dia kelihatan masih anak sekolah. 
       
Masa anak sekolah sudah punya anak? Anak perempuan kecil kemarin itu anak dia kan?
       
Sepertinya bukan. Anak itu kan panggil dia ate. Tante mungkin maksudnya.
       
Kepala Ranu riuh
memperdebatkan seorang gadis yang masih asyik duduk tenang dengan notebook-nya.
       
"Silakan, Mas!" seorang waiter tiba-tiba sudah ada di sebelah Ranu, menyodorkan buku menu.
       
Ranu membolak-balik dengan tidak antusias.
       
"Itu dia minum apa?" tanya Ranu menunjuk gelas di samping notenook gadis itu. Cairan hijau pekat dengan coklat yang tampak meleleh di sisi dalam gelasnya. Kelihatan lezat.
       
"Jus alpukat,Mas?" tanya waiter memastikan.
       
"Boleh. Sama kudapan yang dia makan juga."
       
Setelah mencatat pesanan, wauter tersebut pamit dan membiarkan Ranu kembali sibuk dengan pikirannya.
       
Ranu tersentak. Matanya memicing. Ketika Ranu mengenali gadis itu tadi, ternyata bukan hanya gadis galak yang dia temui kemarin. Jilbab lebarnya memang membuat perhatiannya teralihkan. Namun, sekarang Ranu yakin. Wajah itu, wajah seseorang yang benar-benar Ranu kenal. Bukan hanya kenal, tapi sudah menemani hari-harinya dengan harapan yang melambung akan bisa bersama selamanya.
       
Wajah mereka begitu serupa. Lembut dan manis seperti gumpalan permen kapas rasa leci. Ranu penasaran, apakah mereka punya senyum yang sama?
       
Sorot mata mereka jelas berbeda. Reva, kekasih Ranu dulu, memiliki sorot mata yang lembut dan rapuh. Membuat Ranu berusaha sekuat tenaga melindungi dan membuatnya bahagia. Sorot mata gadis ini lebih tajam dan tegas. Jangankan ingin melindungi, belum berkenalan saja rasanya Ranu sudah diajak berperang oleh dia. Tapi, Ranu memang tidak perlu melindungi dia kan?

Ada lagi yang berbeda dari mereka berdua. Gadis galak ini berjilbab lebar yang rapat. Bajunya gaun panjang yang benar-benar menutup seluruh tubuhnya. Sedangkan Reva lebih modis. Gemar memakai tanktop di balik blazer elegannya, dan rok sangat mungil yang membuat dia terlihat sempurna indah. 
       
Buru-buru Ranu menepis bayangan Reva. Gadis yang luar biasa cantik itu sudah mematahkan hatinya berkeping-keping. Remuk. Tiga tahun tak cukup untuk mengembalilan hatinya utuh seperti semula. Entahlah, mungkin Ranu butuh waktu selamanya. Mungkin Ranu tak akan bisa lagi jatuh cinta.
       
Ponsel di sebelah gelas gadis itu bernyanyi. Segera pemiliknya menyelipkan earphone ke sisi wajahnya, telinga di balik jilbabnya. Ternyata senyum gadis itu lebar dan ceria. Berbeda dengan senyum Reva yang malu-malu dan menggoda. Sayangnya, bukan hanya Ranu yang digoda. Ranu menggelengkan kepala, mengusir jauh-jauh bayangan Reva yang kerap menghantuinya.
       
Mimik gadis itu begitu ekspresif. Kadang tertawa, kadang berpikir, kadang diam mendengarkan. Jemarinya berlarian di atas keyboard. Siapa pun yang sedang melponnya di seberang sana, adalah seseorang yang sedang membantu gaxis itu menyelesaikan tugasnya. Percakapan terhenti. Gadis itu melepaskan earphone dan terus menekuni notebooknya dengan lebih bersemangat. 
   
"Tahu aja, Lo; ada tangkapan bagus!"
       
Ranu terlonjak. Tepukan ringan Andre di bahu Ranu membuyarkan lamunannya. Entah dari mana datanganya, Andre, sahabatnya; sudah duduk di sebelah Ranu. Mengunyah kudapan yang sedari tadi bahkan belum Ranu sentuh.
       
"Ngapain Lo di sini?"
       
"Gue pikir lo sendirian butuh ditemenin," tangan Andre bergerak meraih gelas jus Ranu. Ternyata lagi sibuk stalking."
       
Cepat Ranu menyambar gelas jusnya lebih dulu. "Punya gue, nih, pesan sendiri sana!" dia langsung meneguk sampai setengah gelas. "Gue nggak lagi stalking siapa-siapa."
       
"Oke, nggak perlu ngaku, nggak apa-apa." Andre menyengir jahil. Tangannya melambai memanggil waiter. "Lo cuma lagi duduk di sini melamun, sampai ga sadar gue datang."
       
"Gue mikir, bukan melamun." seru Ranu membela diri.
       
"Tentang?"
       
"Nggak semua isi pikiran gue harus jadi konsumsi publik."
       
"Oke oke. Tenang. Tanduk sama taring lo mulai tumbuh tuh." Mata Andre fokus menatap puncak kepala Ranu memperhatikan tanduk yang seakan benar-benar tumbuh.
       
Ranu mendengus. Sekilas mencuri pandang ke arah gadis itu. Ada gadis lain yang datang mendekari sambil menggendong gadus kecil yang menangis kencang kemarin. 
       
"Anya!" desis Andre antusias.
       
Ranu menoleh ke arah Andre kemudian kembali menatap gadus itu. Anya? 
       
Gadis itu bergantian menatap gadis kecil yang baru datang dan notebooknya. Jemarinya menekan beberapa tombol keyboard kemudian menutup notebooknya. Setelah itu dia mengulurkan tangan, dan gadis kecil itu pindah ke pangkuannya.
       
Andre bangkit mendekati gadis-gadis itu.
       
Andre mau apa?
       
Segera Ranu ikut bangkit dan menyusul.
       
"Anya buru-buru banget." ucap Andre kecewa karena gadis yang satu lagi tadi sudah pergi.
       
"Eh, mas Andre," gadis itu berhenti melakukan kesibukannya menggelitiki gadis kecil di pangkuannya. "Meeteng teh Anya udah mulai katanya. Dia udah telat." Dia kembali menggelitik gadis kecil yang menggeliat kegelian.
       
"Kantornya lagi meeting di sini?" Andre duduk di dekat gadis itu.
       
"Iya, Mas. 4 hari. Masih sampai besok." jawabnya ringan. "Azel, salim sama om Andre dulu, yuk!" 
       
Dengan patuh gadis kecil itu meraih tangan yang disodorkan Andre kemudian menciumnya.
     
Andre mengacak rambut gadis kecil itu sambil tersenyum. "Pintarnya Azalea. Makin cantik juga. Sebentar..." Andre mengeluarkan dua buah permen coklat dari sakunya, yang langsung disambut Azalea.
     
"Bilang apa sama om?" Gadis itu mengingatkan Azalea yang sedang melonjak kegirangan.
       
Azalea memeluk dan mengecup pipi Andre, "Makasih om Andr...re." 
       
"Udah bisa nyebut huruf R ya, pintar banget..."
       
Azalea tertawa-tawa sambil berusaha membuka bungkus permen pemberian Andre.
       
"Salam sama om yang satu lagi belum," gadis itu menunjuk Ranu yang berdiri di belakang kursi Andre.
       
Azalea turun dari pangkuan Andre mendekati Ranu. "Om nakal." ucapnya setelah mencium tangan Ranu.
       
Ranu terkesiap..
       
Gadis itu mengangkat wajah menatap Ranu dan langsung memicingkan matanya.
       
Andre menatap gadis itu dan Ranu bergantian. Merasakan api tak kasat mata yang mulai berkobar.
       
"Om nakal kenapa, Azel?" Andre kembali mendudukkan Azalea dipangkuannya. Lebih baik bertanya langsung pada si pemantik api.
       
"Om ambil boneka Azel...jatuh..." gadis kecil itu berusaha menjelaskan.
       
Susah payah Andre berusaha memahami. "Om nakal karena ambil boneka Azel?" 
       
Ranu menegang. Perang bisa pecah kapan saja.
       
Azalea menggeleng. Kuncir kuda di kepalanya ikut bergoyang.
       
"Om nakal, ate mar..rah."
       
"Om nakal udah bikin tante Runi marah?" tebak Andre.
       
Azalea mengangguk.
       
"Saya bisa jelasin." Perlahan Ranu duduk di sebelah Andre, berseberangan dengan sisi gadia itu.
       
"Kalian udah saling kenal?" 
       
"Not officially..." Ranu berinisiatif mengulurkan tangan. "Ranu."
       
"Run?" Andre menegur gadis itu.
       
Dengan enggan gadis itu menjawab, 'Seruni." tetap mengacuhkan tangan Ranu yang terulur.
       
"Seruni..." ulang Ranu
   
"Dan kenapa kalian kelihatan siap saling baku hantam?" tanya Andre sambil membuka bungkus permen coklat Azalea.
       
"Kemarin dia mau culik Azel, Mas!" seru Seruni berapi-api.
       
"Tidak benar. Saya sedang membantu Azel." suara Ranu rendah. Memberi penekanan pada setiap kata yang diucapkannya.
       
"Buktinya, saya lihat kamu lagi pegangi tangan Azel yang menangis keras!"
       
"Run, tahan!" ingat Andre menenangkan.
     
"Ate mar...rah." 

Sekilas Ranu melirik wajah Seruni. Gadis ini memang seperti permen kapas, tapi jelas bukan rasa leci yang manis. Dia lebih cocok permen kapas rasa rujak, kecut dan pedas.

***

       

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang