0.0 PROLOG

3.2K 275 0
                                    

“Kalau punya kesempatan merubah takdir, boleh lah jadi yang lebih baik.”

•••••

      Eh, ini dimana?!

      Gadis itu baru membuka matanya, baru melihat jelas langit langit tinggi yang menjulang di atasnya, tapi langsung panik ketika sadar ia tidak pernah punya Chandelier semewah itu di kamarnya.

      Ia bangkit. Buru buru menyingkirkan selimut yang besar nan super tebal itu dari tubuhnya. Menggerakkan kaki kirinya untuk turun dari ranjang yang entah bagaimana juga terlihat sangat sangat besar untuknya.

      Ia yang terlalu mungil, atau memang ranjangnya yang berukuran raksasa?

      Ia sempat memikirkan itu, tapi segera menggeleng. Mengalihkan pikirannya untuk segera pergi —mencari tahu ia sedang berada di mana sekarang. Mengapa kamarnya sampai begitu mewah, bergaya klasik khas pada jaman kerajaan di Eropa, dan bagaimana ia bisa berada di sana.

      DUG

      "AH!" Ia berteriak reflek. Menahan tubuhnya yang mulai limbung, sembari berjalan mundur. Menjauhi pintu yang tiba tiba terbuka sebelum ia raih gagangnya itu.

      "Astaga, nona!" seseorang dengan baju khas pelayan, melangkah tergesa menghampirinya. Raut wajahnya terlihat panik melihat gadis itu melangkah mundur sempoyongan sambil memegang dahinya yang terlihat memerah di balik poninya.

      Tidak cuma pelayan itu, masih ada dua orang lagi dengan pakaian sama yang ikut menghampirinya. Menuntun untuk duduk di pinggir ranjang sembari membiarkan mereka memeriksa dahinya.

      "Nona, tolong lepaskan. Izinkan saya melihatnya." kata salah satu dari mereka —satu satunya berkacamata yang berjongkok di depannya yang masih meringis, menahan nyeri.

      Karena tidak punya pilihan lain, ia membiarkan wanita pelayan itu melihat lukanya. Mencoba untuk berhenti meringis karena tidak ingin di anggap lemah, dan .. cengeng. Padahal ia yakin, air matanya akan jatuh di pipi gempal nya sebentar lagi.

      "Tidak apa apa, cuma merah sebentar. Ini akan hilang jika di kompres beberapa menit." Wanita pelayan itu tersenyum, menenangkan. Wajahnya menoleh, melihat kedua temannya sedang menahan gemas melihat wajah gadis itu. "Mela, Siena, berhenti menatapnya seperti itu! Lebih baik salah satu dari kalian ambil kompres-an untuk nona."

      Sadar dengan situasi, Mela —wanita berambut coklat sebahu, berinisiatif untuk mengambilkan kompres-annya. Sementara Siena ikut berjongkok memeriksa keadaannya.

      "Nona baik baik saja?"

      Bukannya menjawab, gadis yang sesekali mengusap keningnya itu justru mengerjap polos. Menatap mereka dengan tatapan lugu plus bingungnya. "Kenapa kalian panggil aku nona?"

      Ups. Mata gadis itu tiba tiba membesar. Menyadari sesuatu yang salah ketika ia mengeluarkan suaranya.

      "Tunggu, tunggu." ia mengangkat tangan, menahan kedua wanita itu yang hendak menjawab. Kembali menatap mereka dengan tatapan bingungnya. "Ini dimana? Aku dimana? Kalian siapa?!"

      Kedua wanita itu mengernyit, memandang satu sama lain. Merasa aneh karena gadis itu tiba tiba bertanya tentang keberadaannya yang tentu saja tidak perlu jawaban untuk di jawab, dan lagi, bagaimana bisa ia menanyakan soal pelayannya yang sudah mengurusnya sejak bayi?

      Apa gadis itu amnesia?

      "Anda... Lupa siapa kami, nona?" Mela —yang baru saja tiba menutup pintunya tepat saat gadis itu bertanya, bertanya dengan suara pelan. Penuh kehati hati-an. Takut apa yang barusan ia dengar itu salah masuk ke telinganya.

      Melihat itu, gadis itu semakin bingung. Ia memiringkan kepalanya. Menelisik wajah Mela, mencoba mengingat ingat apakah ia mengenal wanita itu sebelumnya.

     Apa.. wanita itu salah satu pelanggan di toko tempat kerjanya?

     "Apa kamu kenalan bos aku?" tanyanya kemudian yang di sambut wajah pias mereka semua.

      "Nona benar benar melupakan kami semua?"

      Gadis itu terdiam. Lama. Berpikir sesuatu. Pertama, ia terbangun di tempat asing —tidak tahu milik siapa. Kedua, ada yang berubah darinya —baru sadar tubuhnya seakan menciut hingga ranjang terlihat lebih besar, dan suaranya lebih cempreng dari biasanya. Ketiga, ia bertemu orang orang asing yang mengaku mengenalnya, padahal tidak pernah ia kenal di mana pun.

      Ia berpikiran macam macam, tapi hanya satu hal yang kemungkinan terdengar jauh lebih masuk akal di banding akal akalnya yang lain.

      "Sebelum itu, aku mau kalian jawab jujur! Aku siapa?"

      Wajah mereka terkejut lagi. Kelihatan tidak menyangka tahap lupa ingatan gadis itu akan separah itu. Selain tidak mengingat mereka, gadis itu juga melupakan identitasnya sendiri!

      Namun tak urung mereka mau memberitahunya tentang identitasnya. Siena, wanita berambut pirang sepinggang bercerita perlahan. "Nama nona Arwena de Sliamor; satu satunya putri dari duke Sliamor —Duke yang paling punya kuasa tertinggi di kerajaan melebihi raja itu sendiri."

      Gadis itu —Wena diam. Seperti mendengarkan, dan berusaha memahami sesuatu. Mela melanjutkan, "Sekarang nona baru berusia 4 tahun, upacara kedewasaan akan di rayakan jika nona sudah berumur 15 tahun. Yang artinya, nona sudah di perbolehkan untuk menjalin hubungan sosial dengan para bangsawan lainnya. Bahkan nona juga boleh menerima pertunangan jika ada lamaran yang datang."

     Tunangan?

     Mata Wena melebar beberapa detik, sebelum dengusan samar keluar dari bibir mungilnya yang mengering.

     Cuma pedofil yang mau sama anak bau kencur gini!

     Ia menatap ketiganya yang masih diam, mengelus dada pelan. Untunglah, mereka tidak mendengar dengusannya barusan. Bisa gawat jika mereka dengar. Bisa bisa Wena beralih profesi jadi gelandangan.

     Kembali ke cerita si tubuh ini, gadis itu kembali bertanya. "Jadi, siapa nama papa-ku?"

      Papa? Mereka saling pandang. Tidak pernah mendengar seorang anak di kerajaan memanggil ayahnya dengan sebutan itu. Namun tak khayal, Feya —wanita berkaca mata itu menjawabnya. "Nama tuan, Aglen Reevas de Sliamor, nona."

      Mata Wena kembali melebar —kembali menyadari sesuatu, tapi sedetik kemudian kepalanya mengangguk angguk. Melambaikan tangan, mengisyaratkan mereka sesuatu. "Baiklah, kalian boleh pergi. Tinggalkan aku sendiri."

      "Tapi, nona, bagaimana dengan—" Mela ingin mengatakan, bagaimana dengan dahinya yang memerah tadi. Apakah nonanya tidak mau di kompres, atau di obati dulu. Wena lebih dulu memotongnya.

      "Aku bisa melakukannya sendiri." katanya seakan sadar dengan tangan Mela yang sedari tadi masih memegang baskom berukuran kecil dengan handuk di pinggirnya. "Kamu bisa taruh itu di meja."

      "Baiklah, nona. Panggil kami jika anda butuh sesuatu."

      Mereka pun keluar, meninggalkan gadis itu yang masih termenung di tempatnya —antara tidak percaya dengan semua ini, dan bingung dengan keberadaannya di sini.

      Kenapa dari sekian banyak novel yang ia ciptakan di dunia, kenapa harus novel tanggung yang belum sempat ia tamat kan?






TBC | 4 Nov 2021
Mulmed ilustrasi Arwena (cokelat) & Vika (Pirang).

The Prince ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang