2.2 BAG 7 | Guru pilihan

573 58 2
                                    

Jangan terlena. Gak balik ke dunia nyata, bahaya):”

°•°•°

     Seperti niatnya tadi,  Aglen —pria berusia hampir setengah abad itu menemui Arwena tepat saat jam makan siang di perpustakaan sambil bertanya tanya mengapa putrinya suka sekali pergi ke sana.

     Apakah putrinya sudah pintar membaca?

     Tidak mungkin. Bahkan Aglen baru memanggil guru pengajar sekarang seperti keinginan balita itu —alih alih tahun depan sesuai keinginannya. Kecuali balita itu belajar dari seseorang.

     Tapi siapa?

     “Tuan Duke.” sedang asik melamun, Aglen di kejutkan dengan seseorang —seorang pria seusia putra sulungnya; Arash, namun lebih tinggi beberapa senti dan berambut pirang. Bermata biru. Isander Kyle Omero. “Salam. Semoga Tuhan selalu memberkati.”

     Aglen yang sadar dengan itu, buru buru ikut hormat —membungkukkan kepalanya sedikit. Balas salam dengan salam sama persis yang Isander ucapkan tadi. Baru setelah itu ia tersenyum tipis. Mencoba mengurangi ke-sangaran di wajahnya yang malah tambah seram di mata Isander. “Apakah anda kemari untuk menemui putraku; Arash?”

      Isander mengangguk. Dengan senyum profesionalnya —yang tidak pernah ia tunjukkan kepada Arash, menjawab. “Benar. Aku merindukannya karena itu aku pergi menemuinya. Tidak banyak, hanya ingin berbincang sedikit dengannya.”

     Sedikit apanya? Arash hampir terkena darah tinggi karena ulahnya.

    Namun bukannya mencampuri urusan putranya dengan mencari tahu lebih jauh, Aglen lebih memilih untuk tidak peduli. Mengangguk. Kemudian pamit undur diri —harusnya Isander yang mengatakan pertama kali, tapi kalah start dengan bapak bapak ganteng ini. “Baiklah. Kalau begitu, selamat bersenang senang.”

     “Terima kasih, Duke.” Isander membungkuk kembali, di ikuti Aglen. “Aku sudah menemui Arash tadi, dan hendak pamit untuk kembali.”

     “Oh?” Aku salah ternyata. Aglen merasa malu luar biasa karena merasa salah sangka, tapi ia dengan —kepercayaan diri yang tinggi pura pura bersikap biasa saja. Bahkan terlihat mengangguk menanggapi ucapannya. “Maaf kalau begitu. Terima kasih sudah menyempatkan diri berkunjung ke sini, dan hati hati di jalan.”

     Isander ikut mengangguk. Menunggu Aglen berjalan agak jauh, sebelum tawanya menyembur kecil —jangan besar besar tidak enak di lihat bawahan karena bagaimana pun ia adalah seorang pangeran. Jaga image lah ya.

     “Kau lihat itu, Tian? Sangat mirip dengan Arash.” kata Isander pada pelayan pribadinya yang berdiri di sampingnya; Kaltian —pria berusia dua puluh tahunan yang di pilih sendiri oleh sang ibunda untuk menjadi pelayan pribadinya sejak ia berumur 3 tahun.

      “Benar, Pangeran.” sahut Tian seadanya yang berhasil membuat Isander mendengus karena sikap kaku pelayannya itu —tidak pernah berubah meski Isander berkali kali mengancamnya.

     Menghela nafas mengabaikan sikap Tian, Isander memberi instruksi untuk kembali berjalan keluar gerbang. Menuju keretanya yang sudah di persiapkan untuk membawanya kembali ke Istana, meski statusnya hanyalah pangeran terbuang.

The Prince ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang