“Lebih baik mencegah, dari pada mengobati.”
°•°•°
Esoknya setelah sesi sarapan bersama —Arash sendiri yang menjemput balita itu di kamarnya, Arwena meminta bicara dengan Aglen di ruang kerjanya. Balita itu berkata —bagai orang dewasa, bahwa pembicaraan ini penting. Hanya berdua dengan Aglen, tanpa Arash di antaranya.
Saat ia menghabiskan waktunya sampai sore di taman kemarin, Arwena sudah berpikir matang matang —Untuk hal yang akan ia lakukan selama 3 tahun ke depan. Ia berpikir ulang mengenai untung dan ruginya apa bila ia mengikuti kelas lebih awal —tidak mau menunggu Aglen memutuskannya tahun depan.
Untungnya, ia punya persiapan —mungkin ilmu bela diri pedang atau mungkin ilmu berbisnis yang matang. Meski nanti takdirnya tidak di jelaskan, setidaknya Arwena tidak menyusahkan dengan menjadi bangsawan yang punya kekayaan.
Ruginya, Arwena harus mau mengorbankan masa kecilnya —mengikis waktunya bermain, dengan belajar. Terdengar miris seperti anak anak bangsawan kebanyakan, tapi rasanya semua terbayar impas dengan nasibnya di masa depan. Terjamin, dan penuh kepastian.
Kembali ke meja makan. Arash yang mendengar balita kesayangannya ingin bicara empat mata dengan ayahnya di ruang kerja tanpa dirinya, memicing mata. Menatapnya curiga. “Kenapa tidak di sini saja?”
“Tidak bisa.” Arwena menggelengkan kepalanya dengan mimik serius yang kentara —Justru terlihat imut di mata kedua keluarga. “Ini pembicaraan penting orang dewasa.”
Tidak bisa menahan gemas melihat tingkah balita kesayangannya, Arash —yang kebetulan duduk di sampingnya, menyentil kening Arwena dengan sengaja. Mengabaikan ringis-an Arwena yang menggema di sana. “Kau itu masih umur 4 tahun, tau!”
Arwena mengusap keningnya yang ia pastikan akan memerah. Mendelik sebal. Menatap Arash penuh permusuhan —Fix, selain menyeramkan, Arash itu menyebalkan!
“Lalu, apa masalahnya jika aku masih berusia 4 tahun, Huh?!”
Arash balik menatapnya dengan ekspresi sama —tatapan songong minta ditampol. Walau sebenarnya pria berusia 13 tahun itu cuma ingin mengusili adiknya saja karena wajah Arwena akan semakin imut jika terlihat merah menahan marah. “Bertingkahlah seperti anak umur 4 tahun pada umumnya!”
Mendengar perkataan itu membuat Arwena makin meradang. Entahlah akhir akhir ini rasanya emosinya mudah sekali keluar —mungkin faktor umur, atau memang Arash yang benar benar menyebalkan. “Memang tingkah anak umur 4 tahun pada umumnya itu seperti apa? Merengek meminta mainan baru, atau menangis karena di paksa belajar?”
Pertanyaan Arwena barusan —penuh dengan sakarsme yang kasar, ternyata mampu membuat Arash bungkam. Teringat bahwa tidak ada tingkah wajar untuk anak berumur 4 tahun dalam kalangan bangsawan. Beruntung jika terlahir di keluarga yang melimpahkan kasih sayang —seperti mereka sekarang, dan sebuah kesialan jika terlahir di keluarga yang menuntut tradisi belajar sejak dini bangsawan.
Suasana berubah canggung sejak Arash memilih diam, kembali menghabiskan sarapannya yang masih tersisa. Sedikit, Arwena merasa tidak seharusnya ia berkata demikian —menyinggung perasaan Arash yang memang di didik Aglen belajar lebih awal dengan alasan bocah itu penerus gelar Duke selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince Obsession
Fantasy[Cover ilustrasi Kian] The Crown, Diamond, and Beauty adalah novel paling laris yang pernah Valen buat. Banyak yang suka dengan adegan dimana Kian -sang Male lead begitu menyayangi Vika sampai mungkin rela terjun ke Jurang kalau Vika yang suruh. Pad...