1.0 BAG 1 | Dinner

2.2K 235 2
                                    

“Simpel aja. Alur berjalan semestinya, dan aku hidup sesempurnanya~”

••••

      Acara merenungkan diri itu di akhiri makan malam bersama Duke Sliamor —Aglen, si ayah kandung dari Arwena asli, dan kakak tertua —Arash yang ia tebak, sedang menghabiskan liburan musim panasnya sebelum kembali ke akademi.

     Benar. Anak laki laki yang sudah berusia 12 tahun atau menurut mereka siap untuk mematangkan pembelajaran mereka, akan di masukkan ke dalam akademi khusus kerajaan. Belajar lebih intens selama 5 tahun, kemudian lulus dengan meraih jabatan —entah itu sebagai prajurit, jendral, penjabat, menteri, penasehat, atau yang lainnya. Kecuali raja dan pangeran, ya. Itu tidak termasuk.

      Kembali ke cerita, di situ Arwena diam saja karena merasa canggung untuk memulai topik pembicaraan. Selain karena ia bukanlah Putri Arwena yang asli, ia juga tidak tahu caranya memulai topik —ia lupa menanyai soal perkembangan berita kerajaan pada Feya saat ini.

      Sementara itu, Aglen dan Arash, di landa kebingungan akan sikap Arwena yang tiba tiba saja berubah sejak tidur siang panjang hari ini. Balita yang biasanya suka mengoceh —tidak akan berhenti sebelum batuk gara gara tersedak itu, tiba tiba saja berubah jadi pendiam. Bahkan cara makannya yang biasanya berantakan harus di bantu dengan pelayannya, tau tau bisa se rapih itu. Terkesan anggun malah. Padahal Aglen belum mendaftarkan Arwena dalam kelas apapun.

      Tentu saja tidak, putrinya masih sekecil itu!

      Walaupun belajar tata krama dan teman temannya kelihatan wajar di usia 4 tahun, Aglen akan mempertimbangkan nanti tahun depan. Ia tidak mau kehilangan tawa ceria putrinya meski setahun saja.

      Tidak tahan dengan rasa penasarannya, Arash lebih dulu membuka suara. Mewakili sang Duke yang mempertanyakan sikap putrinya. “Ekhem. Wena?”

      Arwena yang tengah merenung sambil menghabiskan makanannya sedikit demi sedikit, tersadar. Mendongakkan kepalanya. Menatap sang kakak dengan tatapan polosnya. “Ya?”

      “Apa kau sakit? Kau tidak kunjung bicara sejak tadi.” Ekspresi Arash berubah cemas, tidak urung malah membuat Arwena —Valen lebih tepatnya, menggigit bawah bibirnya gemas.

      Akh! Kenapa Arash ganteng banget, sih?!  Jadi mau karung-in):

      Arash yang melihat itu justru salah paham, ia malah mengira wajah yang Arwena tunjukkan seperti orang sedang menahan sakit. Bahkan pria berusia 13 tahun itu sudah turun dari kursinya, menghampiri Arwena. Panik. “Kau benar benar sakit? Bagian mana yang sakit? Cepat katakan padaku!” Arash bolak balik menyentuh lengan Arwena, berdecak kemudian. “Kenapa kau harus kemari? Bukankah kau bisa suruh Feya membawakan makan malam mu ke kamar?”

      Arwena yang langsung mengerti kesalahpahaman yang Arash tangkap itu, langsung meraih kedua tangannya. Menangkupnya di depan dadanya sembari menatap kakaknya dengan senyum menawannya. “Kak, dengarkan aku! Dengar! Aku baik baik aja. Aku tidak sakit apa apa. Kakak, jangan khawatir. Ok?”

      Arash tercenung. Tidak menyangka Arwena akan melakukan itu. Menunjukkan senyum menggemaskan yang ia rindukan itu. Tapi dasarnya bibit Aglen ini terlalu unggul, ya. Arash malah menangkap hal lain.

      Cara bicara Arwena, adiknya. Sejak kapan ia menjadi se pandai itu?

      Arwena mulai melepaskan tangan Arash, bersamaan dengan tatapan Arash yang berubah mendingin. “Wena..”

       Arwena menelan ludah. Memutuskan dalam hati menarik perkataannya tadi. Apanya yang ganteng? Arash itu menyeramkan!

       “I-iya?”

The Prince ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang