"Ayo, Ian! Kamu bisa!" Miss Jansen berseru dari pinggir lapangan.
Aku tarik napas dalam dan mengeluh. Dadaku sesak. Melirik ke samping, teman-temanku mulai berlomba memasukan bola ke dalam gawang. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu bersemangat. Bagiku, sepak bola tidak seru kalau tidak ada lawan mainnya.
Tertunduk, aku pandangi kulit bundar dihadapanku.
"Miss Jansen bilang kamu harus menendang bolanya," tegur suara cadel di sampingku. Tanpa melihat pun aku tahu dia Aimee.
"Kenapa bolanya hanya kamu pandangi saja? Benda itu enggak akan menggelinding sendiri, kecuali kamu punya tongkat sihir."
Pandanganku beralih ke wajah Aimee yang berbintik. Senyum lebar memperlihatkan dua gigi depannya yang tanggal. Apa dia mengejekku? Kenapa kelihatan senang sekali? Tiba-tiba aku ingin menarik rambutnya yang pendek, tetapi Aimee tidak melakukan kesalahan apa pun.
Tidak tahu harus berbuat apa, aku berlari keluar lapangan sepak bola. Tidak menghiraukan panggilan Miss Jansen yang memintaku untuk kembali.
Dibalik pohon aku duduk bersila.
"Ketemu!" Aimee menepuk bahuku seraya tertawa kecil. Mungkin bagi Aimee, menemukan aku sama senangnya seperti mendapatkan sekotak es krim di siang hari yang panas. Tanpa meminta ijin, dia duduk di sampingku. "Kenapa kamu enggak mau main bola?"
Aku memberengut.
Dulu ayah sering main bola bersamaku. Tapi sekarang tidak lagi. Bibirku bergetar. Tenggorokanku nyeri menahan sesuatu dari perut yang mendesak ingin keluar.Aku mau ayahku kembali.
"Kamu sakit, ya?"
Mendadak kedua mataku perih. Kututup wajahku dengan telapak tangan. Tetapi terlambat, air mata keburu jatuh bercucuran tidak mau berhenti.
Aimee memelukku. "Enggak apa-apa. Kamu akan baik-baik saja. Aku ada di sini bersamamu," bisiknya.
Untuk pertama kali, semenjak pemakaman ayah, aku menangis sejadi-jadinya.
Setelah melalui masa kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah lanjutan bersama-sama, Aimee pamit terbang ke benua lain demi menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Saat itu baru aku sadari, sebagian kecil dari diriku hilang, pergi bersamanya.
Hari ini, satu pesan singkat muncul digawaiku. Isinya Aimee memintaku menjemputnya di bandara. Rasanya seperti terbang ke langit tujuh.
"Ian!" Seorang gadis cantik dengan rambut panjang melambaikan tangan dari tengah keramaian. Membawa tas selempang kecil di bahu. Tangan kiri menarik sebuah koper biru.
"Aimee. Senang bertemu denganmu lagi." Aku rentangkan kedua tangan untuk memeluknya, tapi dengan cepat aku tarik kembali. Rasanya canggung. Kuusap batang leherku yang mendadak terasa panas.
"Sungguh pejalanan jauh yang sangat melelahkan. Untungnya pesawat menyediakan bantal yang nyaman untuk tidur jadi aku enggak khawatir sakit leher," gelaknya.
Aku pandangi wajahnya. Mengagumi penampilan Aimee yang sudah banyak berubah. Lebih feminin. Siapa pun yang mengajari Aimee berdandan harus aku beri penghargaan lebih atau setidaknya aku harus bertemu dengannya untuk mengucapkan terima kasih.
"Ian."
"Ya?"
"Kamu melotot."
Aku mengerjap dan tertawa. Bersyukur, sifat baik Aimee tidak pernah berubah. Dari anak perempuan kecil dengan hati penyayang, hingga kini menjelma menjadi wanita cantik dengan penampilan menawan.
Aku sentuh dada kiriku yang berdegup kencang. Aku rasa aku telah jatuh cinta pada teman masa kecilku.
.
Selesai.Hai, work ini adalah naskah yang aku kirim untuk menjawab challenge #harucirclelove
Karena pengumuman pemenang sudah diumumkan dan aku belum beruntung 😄. Maka aku beranikan diri untuk posting ini agar bisa dinikmati banyak orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE HERBS
Short StoryKumpulan cerpen dari beberapa lomba juga festival yang pernah kuikuti. Karena aku suka cerita yang manis dengan konflik yang tidak njelimet, membuat work ini khas aku banget. Give Me some love💙💙💙