Kode Dalam Sederet Angka

4 1 0
                                    

Pertama kali melihatnya di jamuan makan malam keluarga Kim. Biasanya kami tidak merayakan Chuseok, tetapi kali ini berbeda. Mereka mengundang kami karena ada yang istimewa. Katanya, si sulung baru saja tiba dari Seoul.

Lalu aku melihatnya. Wajah pucat berkumis dengan jenggot tipis di dagu. Kudengar dia baru saja mendapat perawatan intensif selama dua minggu di rumah sakit karena flu kekinian. Dia memilih pulang ke kampung halaman untuk pemulihan, karena menurut dokter, berada di antara keluarga yang menyayangi akan membantu tubuh melawan penyakit. Kasihan, aku berharap dia lekas membaik.

Saat kedua orang tua kami mengobrol, aku menjauh dengan alasan ingin memanggang daging.

"Tidak berkumpul untuk minum bersama teman-teman saat perayaan?" Dia ulurkan irisan daging sapi. Aku tidak terkejut dia mengikuti, hanya tidak menduga dia akan mengajakku bicara. Selama pertemuan dia lebih banyak diam. Mungkin tipe lelaki yang banyak bekerja, sedikit bicara.

"Aku tidak punya teman. Kami baru pindah kemari musim panas lalu. Pekerjaan ayah membuat kami sering berpindah-pindah tempat tinggal. Jadi aku terbiasa sendiri."

Dia melihatku dengan saksama. Matanya bekerja seperti mesin pemindai. Laser imajiner membuat wajahku panas. Hangatnya nyata. Pasti api tungku pemanggang penyebabnya.

"Aku lupa sesuatu. Siapa namamu tadi?"

"Sunny."

"Kudengar dari ayah, kau ada saat nenek sangat membutuhkan bantuan. Terima kasih."

Aku kibaskan tangan. "Kebetulan saat itu aku ingin membeli sesuatu. Kulihat nenek kebingungan di depan kasir. Dari yang aku dengar beliau tidak sengaja meninggalkan dompetnya di rumah, jadi sekalian saja kubayar barang belanjaannya."

"Tolong, beri aku nomor rekeningmu. Uang akan aku transfer balik."

Aku tersenyum. "Tidak usah. Lagi pula jumlahnya tidak seberapa." Aku melempar pandangan ke teras rumah tempat para orangtua bercengkrama. "Kalian sudah mengundang kami kemari itu sudah cukup. Terima kasih."

Aroma daging panggang merebak di udara, menggoda indera penghidu. Suhu mulai turun seiring malam semakin larut. Dia merapatkan kardigan. Telinganya merah. Kurasa sekarang hidungnya mulai merasakan sensasi tersumbat karena tarikan napasnya mulai berat.

"Kalau merasa tidak enak badan, masuk saja ke dalam," saranku.

"Justru aku merasa tidak enak jika harus meninggalkanmu sendirian."

"Aku akan baik-baik saja. Mungkin akan sekarat mendengar obrolan para orang tua tentang cerita usang yang diulang-ulang. Tapi jangan khawatir, kemungkinan aku mati bosan sangat kecil peluangnya."

Batuk kecil lolos dari bibir yang kering. Mata sayu mulai kehilangan fokus. Dia merogoh saku baju hangatnya lalu menyodorkan gawai. "Maaf, tapi aku akan sangat menyesal jika tidak membalas budi baikmu."

Aku mengedikkan bahu, "Baiklah kalau memang memaksa. Gandakan dua kali lipat apapun itu yang ingin kau berikan padaku." Aku ketik sederet angka untuk dia simpan. Kukembalikan gawai itu seraya berkata, "jangan diambil hati, aku hanya bercanda."

Untuk pertama dan terakhir kali aku melihatnya  tersenyum.  Karena begitu dia minta diri untuk beristirahat, aku tidak melihatnya lagi.

Sayang, padahal menurutku dia laki-laki yang menarik.


LOVE HERBSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang