02 : wednesday

200 24 0
                                    

Seperti biasa rabu datang lagi. Saatnya aku datang ke kursus seni untuk bertemu tutor musikku. Karena jadwal penerimaan masih lama lagi, aku bertemu dengannya untuk berlatih agar tidak melupakan beberapa poin atau teknis. Kadang dia juga memberikanku tugas membuat demo lagu, mengecek pitch, memainkan tuts sesuai piano sheets pilihannya, dan hal-hal lain. Jika masih ada waktu kosong, kami akan kembali membahas mengenai kemungkinan kegagalanku tahun ini. Mungkin karena persaingan terlalu ketat, kesalahan saat audisi bakat, kekurangan jawaban wawancara atau sampel musik yang kukirimkan tidak menarik?

Mama merasa aku butuh tambahan waktu di luar rumah agar tidak bosan sehingga dia menambah jadwal kursus menjadi seminggu lima kali. Ternyata idenya tidak buruk, selain membuat sibuk—satu hari itu digunakan oleh tutor untuk mengeksplorasi genre musikku. Aku sudah coba bermacam-macam jazz, pop, blues, ballad bahkan hip hop.

"Heeseung, kamu yakin sama genre ini?"

"Maksud bapak?" kukeryitkan dahi setelah mendengar ucapannya setelah aku baru saja selesai memainkan 'Fur Elise'.

"Maksud saya, kamu yakin dengan klasik?"

Aku semakin kebingungan,"Hah? Pak, dari kecil saya diajarin klasik. Tujuan saya juga sekolah musik klasik."

"Tapi kamu kelihatan, terasa dan kedengaran lebih menikmati pop modern. Suara kamu khas untuk musik trendi saat ini bahkan mudah sekali buat kamu beradaptasi pada genre pop. Dua hari saja demo lagu pop udah bisa kamu ciptakan. Menurut saya, kamu punya potensi besar di musik modern."

"Musik pop lebih terbiasa saya dengar karena diputar sehari-hari pak, lagi pula musik tercipta karena ide. Saat itu mungkin saya sedang mood."

Tutorku tertawa kecil,"Kamu kalau di posisi saya pasti paham, saya sudah perhatikan beberapa tahun. Coba renungkan sendiri."

"Saya gak akan memikirkan sesuatu yang sudah pasti jawabannya, klasik adalah genre yang saya suka dan itu mutlak pak."

"Kamu pilih suka atau nikmati? Heeseung, saya tahu latar belakang kamu. Jangan sampai menggadaikan cita-cita untuk menyenangkan orang lain. Fikirkan diri sendiri, susah loh jika kamu memaksa menciptakan musik tanpa menikmatinya. Pesannya mungkin saja jadi tidak tersampaikan ke pendengar." dia melihat jam di pergelangan tangan, ternyata tiga jam sudah berlalu. "Kamu masih punya waktu untuk berfikir dan kembali belajar."

Kukerjapkan mata berkali-kali, rasanya aneh mendengar Pak Henry memberikan masukan seperti itu. Selama mengajarku sejak kelas 8, dia selalu memberikan materi musik klasik tetapi sebagai remaja terkadang aku secara asal memainkan lagu pop- tanpa dasar apa-apa. Hanya sekedar lagu-lagu yang biasa didengar lewat situs musik online atau bgm. Apa mungkin dia memperhatikan dari dulu? Atau merasa pop cocok untukku baru-baru ini?

Tanganku bergerak menyentuh tuts tanpa arah, mencoba membandingkan kedua genre tersebut. Kenapa aku ragu pada keputusanku sendiri?

"Heh, yang bener dong! Symphony No. 7 tiba-tiba berubah lagu Honne, Moonlight Sonata mutar malah ke John Legend."

"Eh-eh, maaf."

Seorang anak perempuan masih lengkap berseragam dengan masker tanpa sadar sudah duduk di ujung ruangan. Mata kami saling bertemu sesaat hingga aku mengerti, bahwa dia siswa selanjutnya yang akan memakai ruangan ini juga. Kubereskan barang-barang berserakan, kemudian keluar dari ruangan secepat mungkin. Duh, ketika memainkan musik aku kadang lupa diri.

"Apa iya ya?" gumamku setelah berada di dalam mobil untuk menuju tujuan selanjutnya hari ini.

Kufikir-fikir lagi dibandingkan lagu-lagu yang pernah kuciptakan, genre pop di folder komputerku isinya bisa tiga kali lipat lebih banyak. Musik pop juga mampu kuciptakan komplit adlibs, aransemen, beat, bahkan liriknya dengan santai dan sesuka hati. Ketika masuk ke genre pop, aku mampu mengekspresikan diri secara maksimal tapi kembali lagi, klasik adalah sesuatu yang sudah sangat lama tumbuh di diriku. Genre yang pertama kali membuat jatuh hati pada musik.

"Lama banget, pinggang gue udah sakit." kalimat pertama dari mulut kakak setelah aku dengan berbesar hati menjemputnya di kota pada sore hari.

"Turun lo, gatau diri." komentarku.

"Gue udah empat tahun duluan jemput lo, jangan itung-itungan sama kakak sendiri."

"Itu kan Mama yang nyuruh."

"Heh, kalo mobil ga mogok juga bisa pulang sendiri." balas Hyunjae dengan malas. "Kursus lo? Aman?"

"Aman, masih kaya biasa."

"Bagus deh, ekspresi lo udah ga jelek kaya kemarin-kemarin."

Aku tertawa,"Muka gue gimana emang?"

"Pucat pasi kaya mau pingsan, serius ya Hee— takut lo kecewa berat dan malah stres kaya temen tongkrongan gue ga keterima ptn. Karena lo kelihatan terlalu ambisi ke sana, Papa juga sempat cari-cari psikolog mana tau lo butuh."

"Serius?"

"Iya, anjing. Makanya pas lo diam aja di kamar, kaya... harus apa? Kita berdua cowo— gue mana paham ngasih motivasi atau semangat menye-menye."

"Halah, kemarin pas cewe lo gagal sidang skripsi kok bisa pinter ngehiburnya."

"Beda cerita lah! Emang lo mau di peluk sambil di suapin mcflurry?" Kutatap dia dengan wajah jijik. "Makanya! Mama aja sampe mikir apa Juilliard bisa di sogok biar lo masuk."

"Udah gila, ya enggak lah!"

Mendengar kata-kata Hyunjae mengenai respon keluargaku sangat campur aduk. Lucu, sedih—membayangkan inisiatif Papa dan Mama ingin membantuku atau kakak yang kebingungan menghiburku. Mungkin saat itu aku sangat terpukul hingga rasanya semua penghiburan berupa perhatian kecil dari keluargaku tak berarti apapun.

"Kak ada sedikit masalah sih sebenarnya."

Hyunjae meletakkan ponselnya,"Apa?"

"Tutor ngasih tau kalo gue lebih berbakat di musik pop setelah beberapa tahun ini."

"Jujur di rumah, gaada yang setertarik itu mengenai musik selain lo. Gue ga paham sama musik yang lo pelajari dan bahkan ga minat nonton konser orkestra yang sering dielu-elukan bareng Nenek. Gue cuma bisa kasih masukan sebagai orang awam." katanya. "Fikirin baik-baik mengenai semuanya, pertimbangkan. Jalur ini adalah tanggungjawab sendiri. Ketika nanti lo gagal dikeputusan orang lain— sulit buat bangkit, tapi kalo itu terjadi di pilihan sendiri walaupun gagal. Lo tetap semangat untuk kembali karena yang di kerjain adalah kesenangan dan sumber kebahagiaan sih."

"Ga mungkin ngelepas sesuatu yang gue pelajari belasan tahun cuma karena omongan tutor kan?"

"Dia profesional, pasti udah ngelihat perkembangan lo. Gue memang bilang jangan dengar omongan orang— tapi kalo lo sampe kefikiran sama ucapan tutor itu berarti ada rasa triggered. Pernah engga lo merasa lebih bahagia di salah satu sisi aja?"

halo! maaf lama yaa.

enjoy.

her waves | heeseung ; ningningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang