Hari-hari selanjutnya benar-benar membuat kepalaku sakit sekali. Ini adalah titik balik paling krisis. Aku mengulang-ulang memainkan musik klasik di berbagai kesempatan bahkan bukan seperti menikmatinya, aku memaksakan kehendak. Tidak ada musik pop atau genre lain yang kudengarkan. Berusaha menguatkan hati bahwa ini adalah keputusan yang tak mungkin tergoyahkan.
Namun aku salah, aku terpicu oleh ucapan Pak Henry.
Genre pop tanpa sadar sudah mengambil separuh diriku. Rasa terbuka menuliskan lirik, melodi-melodi yang mudah untuk kuraih, imajinasi liar saat menciptakan chrous atau reff, solo instrument yang begitu penuh di kepalaku. Aku menyukainya. Aku merasa lebih hidup dengan lagu-lagu pop yang tak terasa sudah lebih kudalami.
Setelah berkonsultasi dengan orang tuaku mengenai perubahan jalur ditengah jalan ini, mereka mengizinkan. Saat itulah dipukul 12 malam, walaupun tidak sopan— aku tak bisa menahannya lagi.
"Halo selamat malam pak, maaf mengganggu waktunya."
"Halo Heeseung, malam. Tidak apa-apa saya masih belum tidur kok. Ada apa Heeseung?"
"Saya mau bicara pak mengenai keputusan saya."
"Baik silahkan tapi sebelumnya saya ingin bilang maaf kalau ucapan saya kemarin-kemarin membuat kamu tidak nyaman sampai tidak masuk dua minggu ini. Tidak seharusnya saya menebak-nebak perasaan orang lain, saya kemarin juga tidak memaksa kamu."
"Tidak pak— saya malah mau bilang terima kasih karena ngasih saya saran kemarin." Heeseung tanpa sengaja tersenyum. "Bapak benar. Sekarang saya paham apa mau hati. Saya ingin pindah genre pak, saya sekarang lebih menikmati genre pop daripada klasik."
"Hah?" diujung sana Pak Henry tertawa. "Untunglah kamu menyadarinya sekarang, jadi masih ada waktu."
"Makasih banyak sudah meyakinkan saya pak."
"Baik Heeseung, mulai besok kita belajar dari awal sekali mengenai pop. Jadwal kamu akan ditambah lebih banyak jamnya ya, berhubung waktu kita belajar hanya beberapa bulan lagi sebelum jadwal penerimaan. Kamu siap?"
"Siap pak Henry, sampai ketemu besok. Saya traktir pizza ya pak, ucapan terima kasih."
"Hahaha, kamu ini. Sampai jumpa sore ini ya."
Rasanya menjadi ringan saat ini, aku yakin ini keputusan terbaik. Tapi rasanya menyedihkan seperti melepaskan teman lama yang ikut tumbuh besar bersamaku. Hingga aku sadar ada satu lagi yang membuatku tak tenang, memberitahu orang pertama yang mengenalkanku pada musik klasik. Nenek.
Pada pagi hari, aku berkendara menuju rumah nenek yang cukup jauh. Rumah minimalis dengan halaman besar ini adalah serpihan dari masa kecil, dulu aku dan kakak sering menghabiskan waktu di sini saat menunggu Papa menjemput.
Saat masuk kedalam, ada nenek yang duduk di halaman depan. Dia duduk di kursi taman sambil menikmati teh jahe yang aromanya memenuhi hidung— rahasianya untuk suara yang jernih hingga kini. Melihat sosoknya membuatku ingat usahanya mengenalkanku pada musik klasik dan saat-saat bersama kami menikmatinya seperti menonton resital piano, orkestra musik klasik, sekedar memainkan satu piano berdua, teater musikal— broadway bahkan darinya lah aku mengenal banyak musisi klasik terbaik.
Bahkan obesesi terbesarku masuk ke sekolah musik klasik terbaik sedunia yaitu Juilliard adalah nenek. Dia adalah lulusan dari sekolah itu dan menjadi pemain piano teater klasik terbaik di sini. Sehingga ketika dia tahu dari seluruh keluarga besar hanya akulah yang tertarik dengan masik dia mengarahkan serta mengajari dengan sepenuh hati. Namun akhirnya, aku pun tidak menjadi penerusnya.
Ketakutanku membuncah sedikit demi sedikit. Sekejap aku membayangkan ekspresi kecewanya,"Nek, ada yang mau Heeseung kasih tau."
"Kenapa sayang?" senyuman diantara garis-garis halus yang memenuhi pipinya membuatku meringis, apa aku akan menghilangkan ekspresi itu?
"Tahun lalu, Heeseung gagal masuk Juilliard."
"Iya nenek tahu."
"Tahun ini, Heeseung mau pindah haluan."
Nenek tampak terkejut,"Kamu mau ambil jurusan kuliah kaya Papamu?"
"Engga nek, aku tetep ambil musik tapi beda genre." sulit sekali mengucapkan kata berlawanan ini. "Genre pop."
"Oh... yaudah bagus kalo itu sesuai minat kamu."
"Hm?" aku tertegun, heran dengan respon ini. "Nenek ga kecewa sama keputusanku?"
Dia tersenyum lagi, kali ini terasa menenangkanku, tangannya meraih tanganku-- menularkan rasa kasih yang begitu murni. "Heeseung, kamu mau jadi apapun asalkan ga merugikan orang lain dan juga membuat kamu senang. Udah cukup buat nenek bangga sama kamu."
"Tapi nek, aku ga bisa jadi penerus nenek. Nenek apa ga sedih udah ngajarin aku banyak mengenai musik klasik tapi malah gaada hasilnya."
"Nenek ngajarin kamu bukan biar kamu jadi seperti nenek. Ketika kamu tertarik ya nenek bagikan ilmu itu. Heeseung, ini adalah hidup kamu. Jadi semua tanggungjawab dan jalan hidup itu kamu yang menghadapi sendiri. Orang lain gak berhak mengatur selain mendukung ke arah yang baik, kamu paham?"
"Iya nek."
"Doa nenek itu cuma agar langkah kalian menuju kebahagiaan lebih ringan, jadi kalau itu kebahagiaan kamu ya dikejar." dia menepuk-nepuk halus bahuku. "Nenek dukung kamu pilih jalan itu, apapun itu yang penting hal baik. Mau gagal atau berhasil menurut kamu, tapi bagi nenek kamu selalu cukup dan membanggakan."
"Makasih nek, doa baiknya."
Entahlah, tapi ucapan nenek yang menghangatkan hati sehingga mengingatkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
•
source : @semarangkuno at pinterest.
•
maaf banget yang tadi salah upload. enjoy!