Aquarius

18 4 0
                                    

Langit cakrawala tak lagi cerah warnanya, perlahan termakan oleh waktu, kian menggelap bagai hitam jelaga. Tidak ada deret lampu menghiasi tiap-tiap jalanan. Untuk sekadar berjalan di bawah gelap langit saja sukar, perlu waktu dan ketelitian agar tidak jatuh terjurus menghadap tanah. Dan retakan-retakan yang menghasilkan beberapa puluh lubang di sana.

Rey terus menyusuri jalan, di belakangnya Ayden turut membututi. Amunisi mereka telah habis, dan mereka perlu kembali menuju Yura sesegera mungkin. Bilamana mereka justru bertemu dengan makhluk tadi tanpa persediaan amunisi sama sekali. Dan bila itu terjadi, habis sudah mereka dilahap.

Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara ambulan yang saling bersautan. Tapi rasanya itu terlalu jauh. Di tempatnya berpijak kali ini, hening yang justru mendominasi. Rey bergidik ngeri, sesaat lagkahnya terhenti ketika justru, di bawah kakinya terasa getaran. Dia menelisik sekitar, netranya berkelana lantas memicing. Dibawa kepalanya sedikit condong ke depan, lantas menengok kesana-kemari seolah tengah mencari sesuatu. Di belakangnya, Ayden hanya mengernyit.

"Ada yang aneh," Rey berujar. Menarik kepalanya kembali ke semula-tidak mencondongkan diri lagi-lalu memutar tubuh ke arah Ayden yang berdiri di belakangnya. "Kerasa nggak?"

"Apa? Gempa?"

"Bukan gempa," sesaat dia terdiam. "Tapi kaya gedung yang roboh, getarannya nggak sehebat tadi soalnya."

Pembicaraan itu dibiarkan menggantung tanpa solusi. Sebab Ayden, secara tiba-tiba menarik tubuh Rey menepi ke samping, tubuhnya sedikit menghantam dinding berlapis batu bata itu. Yang ditarik meringis. Tenaga Ayden bukan sebanding dengannya, mungkin jika saja Ayden tidak memilih untuk melanjutkan pendidikannya, dia bisa saja mengikuti gulat di sana. Lalu diasingkan menuju Distrik Utama untuk dilatih sampai-sampai tak tahu waktu.

Refleks bagus yang dimiliki Ayden itu berhasil menyelamatkan satu nyawa sebelum jatuh tertindih oleh makhluk berlendir. Keduanya sama-sama terhenyak, mereka begitu terkejut dengan kehadiran makhluk itu (lagi). Pasalnya tidak ada amunisi tersisa, bagaimana bisa mereka menyelamatkan diri? Menggunakan belati yang dibawa oleh Ayden? Itu bukan ide bagus, mereka tetap perlu menyerang beberapa titik lemahnya. Itu tidak mudah, dan butuh cukup waktu.

Hendaknya mereka melarikan diri dari sana, ketika justru satu panah melesat secepat angin. Panah pertama tertancap tepat ke dalam mulut makhluk tadi, panah kedua di salah satu kakinya hingga ia mengerang keras kesakitan. Suaranya yang besar itu berhasil buat Rey menutup kedua telinganya, sakit sekali. Lalu panah terakhir-yang entah mengapa bisa tertancap cukup dalam di bagian dada-dan sejurus kemudian, mahkluk itu terjatuh melebur tak tersisa.

Kepulan asap, serta langit cakrawala yang separuhnya telah berganti warna menjadi saksi bisu di sana. Rey merasa was-was, buru-buru menengok kesana kemari mencari pelaku dibalik aksi heroik itu. Lalu di sana, di bawah siluet, seseorang tengah berdiri.

"Heck." Rey bergumam masih meringis.

"Lo berdua ngapain di sana?" dia berjalan perlahan menghampiri. Dari suaranya bukanlah seorang wanita-yang Rey harap-melainkan seorang laki-laki. Postur tubuhnya tegap berdiri, dan suaranya sedikit berat.

Pada Ayden yang berdiri di samping Rey dengan memusatkan kedua netranya terhadap laki-laki itu, kendati asumsinya salah maka Ayden bertanya, "Jack?"

Sang empu nama hanya balas terkekeh, "cool, you've recognized me very well."

"Wait, lo berdua saling kenal?" kedua alis Rey saling bertaut.

"Ayden salah satu anggota archery juga, jadi iya, kita berdua saling kenal."

Setidaknya setiap kampus yang berdiri di Distrik Dream memiliki satu atau bahkan beberapa organisasi ketahanan, seperti Ayden; yang memilih untuk turut bergabung dengan organisasi archery bersama dengan Jaemin, yang baru Rey ketahui keduanya ternyata saling mengenal. Dan untuk Rey sendiri, bidang ketahanan adalah bidang tersulit baginya. Sebab, dia tidak terlalu menyukai olahraga yang berat terutama membutuhkan strategi cukup rumit. Baginya duduk berdua bersama Yura di salah satu pelataran kampus dengan masing-masing tangan sibuk berkutat di atas keyboard sudah cukup.

The Metro | NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang