Riuh angin berkelebat pada dinginnya malam. Tidak ada cahaya, meski pada singgasananya rembulan tengah memandang nanar bawah bumi. Gumpalan awan kelabu tampak meliuk-liuk di atas langit, dan benda bulat pipih itu bersembunyi dibaliknya.
Kanya masih terisak di sana, bertekuk lutut dengan kedua tangan memeluk sang Ayah. Dalam rengkuhannya, sang Ayah terbujur kaku dengan wajah sepucat batu kapur.
Mereka menunggu hingga waktu berlalu, kemudian Kanya-yang semula terduduk seraya terisak-bangkit dari posisinya, berjalan menuju dapur. Tak ada ekspresi.
"Kanya?" Yura melongok dari balik tubuh besar Jack, lantas bertanya dengan suara pelan.
"Ayo, kak, kita nggak punya banyak waktu. Di sini masih ada sisa makanan kemarin, beberapa bisa dibawa. Perlengkapan senjata dan lain sebagainya ada di bagian pintu itu," jari telunjuknya terangkat, menuding salah satu pintu yang berada di seberang posisinya. "Ambil aja semuanya, Kak."
Yang diberi arah menoleh menghadap pintu. Pintu ruangan itu terbuka menciptakan segelintir hawa dingin yang berkelebat sesaat. Engselnya bergerak maju mundur tertiup oleh angin dari jendela—yang meski tak lagi ada di sana. Pada dindingnya, beberapa senapan api melekat di sana. Beberapa dibiarkan tergeletak di atas permukaan meja yang dilapisi oleh kaca. Di sampingnya terdapat sebuah etalase; berbagai senjata tajam ada di sana, disusun rapih sedemikian rupa.
Rey berjalan ke dalam, mengamati tiap-tiap detail yang ada di dalam ruangan itu. Tersembunyi, tiada orang dapat memasuki tempat itu sebelumnya selain sang pemilik. "Bokap lo punya pabrik senjata?" tanya Rey sembari meraih senapan api yang diberikan Ayden kepadanya.
"Nggak, itu koleksinya."
"Orang kaya sinting." geleng lelaki itu lantas melengos.
Yura berada di samping Kanya, sibuk menata beberapa makanan sisa-yang sebenarnya masih terbungkus rapat-ke dalam koper milik Kanya. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Sehubung Yura, yang masih merasa asing terhadap Kanya sekarang. Perempuan itu jauh lebih tenang.
Suara berisik dengan serpihan kaca yang terpelanting dari segala arah berhasil menyita seluruh perhatian kelimanya di sana. Jack yang pertama menyadari suatu hal ganjil; ketika lemari yang semula tergeletak begitu saja, bangkit secara perlahan. Memberi suatu celah ruang yang mustahil bagi seorang manusia dapat mengangkatnya.
"Lendir," bisik Jack. "Kanya, bokap lo..."
Pada kuasa milik Ayden, sebuah senjata api jarak dekat berhasil dikerahkan. Busur serta panah kini menjadi senjata utama bagi Rey, yang sekarang tengah memberi ancang-ancang.
Makhluk itu—yang secara teknis adalah Ayah Kanya—mengerang hebat. Suara erangan yang berisik itu dapat mengusik telinga siapapun, meski dari jarak yang terpaut.
Hendaknya Ayden menarik pelatuk, untuk segera melepas peluru alih-alih memandang meja bar panjang yang dibaliknya terdapat Kanya dengan tatapan kaku seolah bertanya, bagaimana sekarang? Apa perlu dibunuh?
"Bunuh saja," kata Kanya dari balik meja bar seolah tengah membaca pikiran Ayden. Perempuan itu masih sibuk menyusun beberapa kaleng sarden ke dalam koper. "Toh dia bukan ayah saya."
Ayden tergelak, sedikit merasa terkejut sebab Kanya yang berkata demikian. Langkahnya dibuat rapat dengan kedua tangan yang mencengkram kuat senapan pada kuasanya, sebelum pelatuknya dilepas. "Serius?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Metro | NCT
FantasyNegara itu seolah terkoyak oleh banyaknya riuh angin yang berkelebat, kepingan reruntuhan berserakan di mana-mana. Negara yang berdiri di atas sistem parlementer, terbagi atas empat distrik yang menawan, hancur dalam satu jentikkan jari. Kanya Moon...