HI SEMUA!
Karena lama absen, aku bakal update 2 bab hari ini.
Jadi enjoy!
Dan jangan lupa ingetin temen-temennya kalau cerita ini akan berakhir di wattpad bulan November ini juga! Tanggal berapa? Masih rahasiaaaaaaaaa
Selamat malam Minggu, semoga pada ada kencan!
Salam ganjen,
Ratu Cungpret
***
"Kadang kita perlu kehilangan sesuatu untuk sadar bahwa lebih baik punya daripada nggak punya apa-apa."
Aku menyalakan ponsel yang sedari tadi kumatikan, menghindari telepon-telepon ajaib Mas Aiman yang mungkin saja terjadi ketika aku sedang bersama Rafa.
Aku bilang padanya bahwa aku siang ini akan bersama dengan Sydney karena Mas Aiman agak jengah kalau terus berduaan dengan Nandi. Meski kukatakan berkali-kali kalau Nandi adalah sahabat, tapi menurut Mas Aiman, 'Nandi itu laki-laki normal yang kolom KTP agamanya beda aja sama kamu kalau gak juga kamu embat'. Mungkin bagi Mas Aiman, Nandi ini semacam risol yang muncul ketika lapar.
Aku menyalakan AC sambil menunggu ponselku menyala dan.... kenapa panggilan tak terjawabnya dari Sydney? Aku membuka whatsapp dari Sydney dan mendadak perutku mulas.
Sydney : suami gue nggak ngomong dulu tadi pagi dia ketemu Aiman terus lupa aja ngomong siang ini gue makan sama kakeknya. Mampusssss
Aku bergegas menelepon Mas Aiman. Ponselnya mati. Tidak pernah dia begini. Aku memejamkan mata dan berusaha memikirkan jalan keluar. Kenapa tidak ada satu idepun yang muncul? ARGH! Aku berusaha mengingat -ingat jadwal praktek Mas Aiman dan segera memasukkan alamatnya ke peta.
Kunyalakan mesin mobil dan dengan perasan yang tidak dapat kugambarkan. Panik! Seumur – umur tidak pernah selingkuh kenapa ketahuannya di percobaan tiga puluh hari? Gal, Gal! Memang kamu tidak ditakdirkan untuk bandel.
Aku masuk ke klinik tempat Mas Aiman bekerja, ada tiga orang wanita yang menunggu dengan tenang di tiga sofa berjarak yang menghadap staf klinik.
Aku mendatangi staf klinik, "Mbak, dokter Aiman masih praktek?"
"Masih, Mbak. Mbak pasien dokter Aiman apakah sudah buat janji?" Tanya staf klinik ramah.
Aku menggeleng, "Oh, nggak. Saya mau ketemu dokter aja selesai praktek."
Staf klinik tampak bingung, "Tapi ini lama Mbak, ada dua pasien yang lepas behel."
Aku mengangguk. Pelepasan behel jauh lebih lama dibandingkan dengan control biasa yang mungkin lima belas menit.
"Nggak apa – apa, saya tunggu aja," Aku mundur lalu mengambil tempat di kursi, di dekat pintu masuk.
Aku mengamati tiga pasien Mas Aiman yang setengah wajah dari pangkal hidung ke kening tampak cantik semua. Mas Aiman sebenarnya bisa memulai kisahnya dengan siapa saja, tapi dia memilih untuk memulai lagi denganku. Untuk pertama kalinya ada rasa posesif yang hinggap di dadaku sehingga menjadi sesak. Aku berusaha mempraktekkan teknik pernapasan yang diajarkan oleh instruktur meditasiku ketika aku mulai panik. Kupejamkan mata, tarik napas dalam – dalam dari hidung, keluarkan dari hidung lagi. Dengarkan suara hati. Satu. Dua. Tiga.
Mas Aiman memiliki trauma dan telah melukai egoku. Iya. Ego. Di saat aku mengalami patah hati mahadahsyat dari Bara, Mas Aiman yang hadir namun tidak siap tinggal. Tapi Mas Aiman juga menghadirkan tawa di saat semuanya terasa getir. Mas Aiman yang tidak berhenti berusaha. Iya, dia tidak pernah berhenti berusaha. Tidak seperti aku yang kabur begitu saja ketika melihat ada resiko di masa depanku bersamanya. Aku masih memejamkan mata. Satu nama dipanggil masuk. Masih ada dua pasien lagi. Sabar. Kali ini aku harus sabar.
![](https://img.wattpad.com/cover/277555229-288-k683080.jpg)