Prolog

28.7K 2.5K 304
                                    

Prolog

"Ketika kemacetan dirindukan, dan yang ada hanya Ganjil,"





AKU meletakkan sekardus belanjaan di sudut dapur kemudian menyemprotkannya ke seluruh permukaan kardus. Aku membuka hair cap, membuang masker medis yang kugunakan dan masker kain kuletakkan di keranjang baju kotor. Aku menyemprotkan diri sendiri  dengan alkohol 70%, dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu bergegas ke kamar mandi. Kubuka baju dan memasukkannya ke dalam mesin cuci, kemudian mandi. Kenapa dunia jadi begini? Diri tambah bersih sih, tapi listrik naik karena sering cuci baju, aku memilih untuk mencuci langsung baju sebelum potensi virusnya kemana-mana, AC juga menyala terus karena kerja di rumah.

Aku keluar memakai baju bersih, menekan tombol-tombol mesin cuci yang kemudian mengisi air. Ponselku berbunyi. Mama. Seperti biasa.  Pandemi ini sudah jalan satu tahun lewat, bukannya tambah baik, malah semakin menjadi. Tahu gitu aku menerima tawaran kerja di Singapura. Bodo amat lah dengan potensi jodoh muslim yang menipis di sana, daripada di sini jadi NOL besar karena takut ketemu orang?

"Ya Ma?" Aku mengangkat telepon.

"Kamu ngapain? Udah benar kalau lockdown di rumah aja. Ngapain sih sendiri di apartemen? Ambil makanan aja susah," Mama mengomel.

"Udah deh Ma, Gala bahagia juga begini," Bahagia dari Hongkong. Hehehe. Lie until God destines it!

"Terus makan apa?" Tanya mama.

"Ini baru jam sembilan pagi. Tadi sarapan Gala udah kentang rebus, dada ayam, sama brokoli. Sehat kan, Ma? Ini siang Gala baru mau masak ayam rica-rica. Terus udah beli rendang juga dua kilo dari restoran padang dekat sini. Mama nggak usah khawatir deh," Aku duduk di sofa.

"Gimana nih Gal, jodoh kamu?" Tanya mama.

"Ya udah Ma, ikhlasin saja," Aku menyalakan TV.

"Ikhlasin gimana. Umur kamu jalan terus," Mama memelas sekarang.

"Ya bagus dong jalan, kalau nggak jalan Gala nggak hidup," Aku cekikikan.

"Hush! Ngomong apa kamu?!" Mama ngomel lagi.

"Ya iya benar kan? Di pandemic ini masih muda banyak yang meninggal. Yang penting mama, papa, Gisha, anaknya, suaminya, aku, sehat, umur panjang. Dalam kasus aku, yang penting aku tetap cantik, seksi, nanti pas pendemi ini selesai, langsung ketemu, nikah," Aku merapal mantra yang kuucapkan tiap pagi.

       Sepertinya aku sudah melalui fase depresi, dimana aku bisa nangis mendadak, berat badan turun drastis, dan mood berantakan. Tiap bulan aku berkonsultasi dengan counseling, menyewa konsultan asmara juga untuk ngobrol ngalur ngidul mengenai progress asmaraku yang nol, dan tentu saja olahraga tiap hari. Iya tiap hari. Toh tidak ada budget apapun lagi selain menyehatkan raga.

"Iya aamiin," Mama mengalah.

"Ma, aku mau beberes belanjaan online dulu ya. Baru datang kan," Aku ingin menyudahi pembicaraan.

"Oke, jaga diri ya," Kata mama sebelum menutup telepon.

       Aku menaikkan kaki ke sofa, kemudian membuka laptop, jam sembilan lewat lima belas. Kusambungkan dengan zoom. Detira sudah hadir dengan perut besar. Dia tampak begah!

"Good morning Indonesiaaaa," Kata Detira sambil senyum.

"Good morning KL!" Aku menyapa.

"HALAW!" Nandi baru ikut bergabung dan bersuara tinggi.

"Berisik lo pagi-pagi," Aku menyemprot Nandi.

"Duh Beb, stress nih gue di rumah," Kata Nandi.

"Hi guys!" Sydney akhirnya muncul, seperti biasa, latar belakang Sydney paling bagus, dapur yang semuanya marmer putih.

Tak Ada Lagi Ganjil-GenapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang