3

41 8 0
                                        

"Mama...."

Lamunan Gianna terbuyar kala mendengarkan panggilan dari Jay. Gianna yang sedari tadi berdiri menyiram bunga di perkarangan rumahnya membalikkan tubuhnya ke belakang. Ketika Gianna membalikkan tubuhnya ke belakang otomatis kran air yang berada di tangan ikut mengarah ke belakang. Kran air yang masih menyala itu berhasil menyiram Jay yang berada di belakang Gianna.

Gianna yang terkejut melonjak kaget dengan melompat kecil, sedangkan Jay yang tersiram hanya diam sambil menelan air kran yang masuk ke mulutnya.

"JAY!!!" pekik Gianna. Jay yang masih terdiam mengusap wajahnya ke atas. "Ahh,,, sexyyy" celetuk Jay. Gianna yang melihat tingkah anaknya bersikap seakan-akan memukul Jay. "Aish.." ketus Gianna. Jay hanya tersenyum menjengkelkan, memamerkan senyum lima jari.

"Ganti baju sana! Kamu ngapain sih ngangetin Mama kek gitu? Dasar!!"  Jay yang merasa di salahkan menautkan alisnya dengan kesal. "Mama tu, di panggil-panggil ngak ngerespon. Diam aja. Jay khawatir Mama kesabet setan." ketika Gianna ingin membuka mulutnya, Jay dengan cepat menambahkan. "Mama mau di Ruqiyah?"  Gianna terdiam sejenak mendengarkan pekataan anaknya. "Mama mau ngak?" tanya Jay lagi. Gianna yang jengkel sebab perkataannya terpotong karena Jay, hanya memejamkan matanya menahan amarah yang berkumpul di kepalanya.

Gianna mengangkat tangannya yang masih memegang kran air dan mengarahkan ke Jay. Kran air yang masih menyala, mengalir membasahi Jay dengan indah. Jay yang di siram Gianna berjerit karena kebasahan dan sesekali air kran itu mengenai matanya. "Mama.." jerit Jay.
Gianna yang semakin senang mendengar suara Jay menjerit semakin jadi menyiram Jay.
Jay dengan cepat berlari masuk ke rumah dan berteriak. "Aku bakalan balas dendam,Ma.." Gianna yang mendengar suara Jay dari kejauhan hanya terkekeh geli. Dasar

Setelah perang tak terduga di pagi hari tadi, keduanya sekarang duduk di meja makan sambil menikmati sarapan.
"Mama, sekolah Jay mau wisata ke pantai." kata Jay. Gianna yang masih mengunyah roti menatap Jay tatapan seakan-akan Gianna menjawab 'kenapa' kepada Jay.
"Huftt.. I'm just lazy man." ucap Jay. "Why??" tanya Gianna. "I don't know." jawab Jay. "So..?" tanya Gianna lagi. "Mama...." rengek Jay.
Gianna mengelengkan kepalanya dengan pelan. "Jay, itu kan kegiatan rutin sekolah kalian, kan? Mama sama kamu? Kenapa sih setiap ada wisata sekolah kamu ini selalu ngak mau ikut? Kenapa? Ada yang jahilin kamu di sana?" tanya Gianna dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Jay menghembuskan nafasnya dengan berat. "Memangnya siapa yang berani macem-macem sama Jay. Seharusnya Mama khawatir sama orang yang mau jahilin Jay daripada Jay. Jay aja ngak yakin tu orang bakan bisa jalan besok." jawab Jay panjang lebar. "Terus kenapa?" tanya Gianna lagi.
"Entahlah." jawab Jay dengan malas.

Jay memang terlihat mudah bergaul tapi kenyataan Jay itu tipe orang yang tidak suka berdekatan dengan seseorang.
Di mata orang lain Jay seperti sosok yang mudah terbuka dengan orang tetapi Jay sebenarnya sudah membangun tembok yang tebal dan tinggi. Jay memang mempunyai banyak teman tapi teman-temannya tidak begitu tahu tentang kehidupan Jay. Jay juga bukan orang yang terbuka dengan kehidupannya. Jay hanya memberitahukan hal-hal umum saja kepada temannya. Teman Jay juga terlalu takut untuk bertanya lebih dalam tentang kehidupan Jay, mengingat Jay orangnya tidak segan-segan mengepalkan tanganya.

"Menurut Mama sih itu terserah kamu. Wali kelas kamu ngak maksain kamu harus ikut, kan?" tanya Gianna. Jay menggelengkan kepalanya. "Ya udah, ngak usah ikut. Gitu aja jadi masalah." Jay menganggukan kepalanya dengan setuju.

"O iya Ma, nanti Jay bakaln nongkrong sama temen-temen. Jay sama temen Jay mau Hiking bareng." Gianna berpikir sebentar. "Jadi kamu lebih memilih Hiking daripada ke pantai?" tanya Gianna. Jay hanya terkekeh. "Di pantai ngak seru, Ma. Lebih seru Hiking, kalau beruntung Jay bakalan ketemu beruang sama babi hutan." jawab Jay.
"Mama heran sama hobi kamu gak ada yang bener. Jadi tarzan aja kamu sana."
Jay hanya terkekeh geli lalu bangkit dari kursinya. Jay mengambil kunci motor dan memainkan dengan memutar di jari telunjuknya.
"Memangnya Mama ngak malu punya anak tarzan. Hahaha... Berarti Mama juga tarzan dong. Mama tarzan. Hahaha..."

"JAYDENNNNN...."

....

Mobil hitam mengkilap berhenti tepat di depan Gianna ketika menunggu Jay menjemputnya di halte. Dari kursi belakang kaca mobil itu turun dan menampakkan anak kecil yang sedang tersenyum melambaikan tanganya dengan riang.
"Miss roseenee." panggil anak kecil itu. Gianna terpaksa untuk tersenyum. Bukan tidak suka dengan anak kecil itu tetapi dengan pria yang sedang duduk memangku anak kecil itu. "Hai Lattie.. " sapa Gianna.
"Miss Roseenee mau ikut? Lattie bisa memberikan tumpangan untuk miss Roseenee." Gianna masih tersenyum dan menolak ajakan Lattie dengan lembut. Lattie mendengar jawaban Gianna hanya protes.

Pria yang duduk bersama Lattie hanya diam saja sembari menatap Gianna. Tatapan pria itu membuat Gianna tidak nyaman. Tatapan pria itu terlalu dalam untuknya."ayolah miss Roseenee.. " bujuk Lattie. Gianna mengeleng pelan menolak ajakan Lattie. Lattie yang ajakannya di tolak Gianna mulai menangis, membuat Gianna tidak nyaman.
Pria itu mulai membujuk Lattie untuk berhenti menangis dengan iming-iming akan di belikan ice cream dan cokelat, tetapi bujukan itu sudah tidak mempan terhadap Lattie. Gianna yang merasa bersalah meng-iyakan ajakan Lattie.

Lattie yang kesenangan, menghentikan tangisnya dan tersenyum bahagia. Lattie medorong sang ayah untuk menyingkir dan membukakan pintu untuk Gianna. "Maaf Anna, Lattie memang anaknya sedikit manja." Gianna tersenyum, memaklumi sikap Lattie yang masih kekanakan. "Ngak masalah, Jordan."

Selama perjalanan Jordan hanya diam saja mendengar celotehan anaknya dan mendengar Gianna yang sesekali menimpali celoteh Lattie. "Daddy, kita ke kedai ice cream, kan?!" Jordan yang sedari tadi memperhatikan ponselnya mengalihkan pandangan dan mengangguk. "Yey.." sorak Lattie.

Ketika sampai di kedai ice cream, Lattie dengan cepat membuka pintu mobil dan menarik Gianna untuk keluar dari mobil.
Jordan yang melihat tingkah Lattie hanya tersenyum kecil. Sudah lama Jordan tidak melihat Lattie sebahagia itu. Jordan mengikuti keduanya masuk ke kedai ice cream dan berjalan menuju tempat dia dan Lattie biasanya. Jordan ke kasir dan memesan menu dan kembali duduk. Tidak selang lama pelayan mengantarkan pesanan Jordan. "Aku berharap kamu masih suka red velvet cake." ucap Jordan sedangkan Gianna hanya terdiam menatap cake red velvetnya.
"Daddy, toping ice cream Lattie masih kurang, bahkan Daddy tidak menambahkan buah cherynya." Lattie melipat tanganya dengan kesal sambil mengembungkan pipinya dengan lucu. Jordan tertawa kecil dan mengeluskan kepala Lattie. "Ah, maaf.. Daddy lupa."
"Dasar Daddy." ucap Lattie dengan lucu. Lattie turun dari tempat duduknya dan menghampiri tempat toping yang di sediakan oleh toko.

Jordan yang merasa canggung memulai pembicaraan dengan Gianna.
"Gimana kabar kamu?" tanya Jordan. Gianna hanya tersenyum miris mendengarkan pertanyaan Jordan. "Hanya aku? Hanya aku yang kau tanya kan?"

"Anna.."

"Berhenti!! Berhenti memanggilku dengan nama itu.Anna sudah lama pergi Jordan, sudah lama sekali."
Gianna berdiri dan megambil tas yang berada di sampingnya.
"Janette sudah meninggal." ucap Jordan secara tiba-tiba.
"Selama ini Lattie kekurangan kasih sayang seorang ibu. Hal itu membuat Lattie menjadi anak yang pemurung dan susah berteman dengan anak-anak yang lain. Tapi setelah pindah Tk dan bertemu denganmu Lattie menjadi anak yang periang. Lattie sudah mulai terbuka dan bisa bercerita tentang hari-harinya di sekolah. Lattie juga sering bercerita tentangmu dan beberapa kali berharap bahwa kamu bisa menjadi ibunya." cerita Jordan panjang lebar.

"Heh, drama apalagi ini, anakmu menginginkan sosok ibu? Bagaimana dengan Jay? Apa kau pernah berpikir kalau selama ini Jay juga mengharapkan sosok ayah sampai titik dimana Jay berhenti berharap. Apa kau pernah tentang Jay? Kamu hanya berpikir kebahagianmu saja. Sampai kapan aku harus mengalah, Jordan.? Sampai kapan? Sudah cukup aku mengalah dari Janette. Aku harap sampai ini saja pembicaraan kita. Bilang sama Lattie kalau aku ada urusan mendadak.

Gianna pergi tanpa melihat raut wajah Jordan yang menatap Gianna dengan penuh harap.
Setelah kepergian Gianna, Jordan mendongkakkan kepalanya. Mengingat kesalahannya di masa lalu. " Maafkan Daddy, Jayden."

...

Tbc

We Don't Need U, DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang