1

571 25 0
                                    

Aku menggerutu pada bayangan diriku sendiri di cermin kamarku. Rambutku susah untuk ditata. Aku harus segera berangkat ke kampus sekarang, karena dosen baru akan datang untuk menggantikan Bu Ida yang baru saja seminggu yang lalu pensiun. Namun di sini aku mencoba untuk mengikat rambutku agar mau menurut. Anak rambut yang selalu naik dan muncul saat aku mencoba mengikat rambutku dengan ikat rambut.

Aku memutar mata dengan geram dan menatap ke arah gadis berkulit kuning langsat berambut hitam pekat dengan mata cokelat, menatap ke arahku, dan aku mulai menyerah. Satu – satunya cara yang kini memungkinkan adalah mengurai rambutku, membelahnya tengah dan berharap, walau aku memakai sepeda motor, rambut ini akan tetap kelihatan rapi. Menyelipkan jepit rambut kecil berwarna hitam di kedua sisi rambutku, dekat telinga. Membasahi bibir bawahku dan menggigitnya, saat aku merasa mulai ragu dengan ini.

Ku tatap kembali pakaian yang sedang ku kenakan. Dan aku sangat berupaya untuk tetap kelihatan rapi di hari pertama dosen itu akan datang. Celana jeans biru, sepatu putih, kaos putih, dan juga sweater merah muda. Bagiku, ini sudahlah bagus. Ku pikir. Segera ku sambar tas ranselku yang tergeletak di atas ranjang, dan juga kunci sepeda motor di atas meja belajarku. Keluar kamarku, turun ke lantai satu dan disambut oleh kakakku, Refidho, satu-satunya keluarga yang kini ku miliki, setelah kematian kedua orangtuaku, lima tahun yang lalu. Dia tersenyum menatapku dan memberikanku sepotong roti sandwich, yang hanya berisi dua lembar keju–kesukaanku.

“Jadi, kau akan berangkat sekarang, hmm?”

Suara bass-nya yang selalu membuatku merasa rindu pada ayah. Walau sering kali ku hiraukan rasa rindu itu. Tidak ingin membuatku begitu lemah. Rambutnya yang lebat, mata hitamnya yang legam, tubuh tinggi dan tegapnya, sesekali terlihat lemah. Aku tahu itu. Kak Refi–panggilan kesayanganku–tidak pernah mau aku mengetahui apa saja yang dia rasakan selama ini. Aku tahu dia lelah, tapi dia tidak pernah mengatakan apapun kepadaku. Aku menatapnya sendu, dan dia membalas dengan senyuman lebarnya.

“Ya, aku tidak ingin terlambat hari ini,” bisikku, mencoba untuk menekan rasa panik yang meningkat dan gagal, setelah menatap arloji kecil di pergelangan tangan kiriku. Pukul delapan pagi. Itu artinya dalam tiga puluh menit aku sudah harus ada disana.

“Baiklah... ini bekalmu, masukkan ke dalam tasmu, dan segeralah berangkat. Aku juga akan berangkat ke kantor satu jam lagi.” Aku menatapnya penuh sayang, tersenyum lebar.

Aku segera mengambil kotak bekal itu dan memasukkannya ke dalam tas ranselku. Mencium pipi kanan Kak Refidho dan melambaikan tangan, seraya mengeluarkan sepeda motor matic-ku ke depan rumah. Dan mulai mengendarainya dengan kecepatan sedang. Di jam segini, jalanan kota Malang akan mulai sangat ramai. Mulai macet dan ya, membuatku gugup sekali lagi, menatap arloji kecil di tanganku. Sesekali mengalihkan pandanganku menatap mall yang menjulang tinggi, dan beberapa pekerjanya yang mulai bersih-bersih. Mengikuti alur jalan yang membawaku ke salah satu universitas ternama di Kota Malang.

Memarkirkan sepeda motorku, dan segera melesat pergi menuju kelasku. Sekarang jam delapan lewat dua puluh menit saat aku tiba, sangat lega bahwa aku masih memiliki waktu untuk sampai ke kelas. Aku memutuskan untuk berlari kecil, walau pada akhirnya aku tanpa sengaja menyenggol beberapa orang yang berjalan di dekatku. Sambil terus bergumam ‘meminta maaf’ pada mereka. Sampai di kelas, pintunya yang tertutup dan juga suasana hening, membuatku semakin gugup. Aku terdiam sesaat, kembali merapikan rambutku yang sedikit berantakan akibat berlari tadi. Aku mengetuk pintu kelas secara perlahan, dan mendorong pintu itu.

Menatap ke arah teman-teman yang terdiam dan serius, namun menatap dalam ke arahku. Beberapa di antara mereka berdiskusi, entah mendiskusikan apa. Ku alihkan pandanganku menatap seseorang yang sejak tadi menatapku dengan tajam dan juga datar. Begitu tampan, dan menarik. Tubuhnya tinggi tegap, mengenakan setelan kemeja kotak berwarna hitam dengan dua kancing kemejanya yang terbuka, lengan kemeja yang tergulung, dengan rambut hitam yang sulit di atur itu, dan mata berwarna hitam gelap–lebih gelap dari milik Kak Refi–dan intens yang menyorot tajam ke arahku sejak aku membuka pintu kelas tadi. Butuh beberapa saat bagiku untuk menetralkan detak jantung dan napas tak beraturanku.

Don't Let Me Go ✔️ {TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang