5

205 17 0
                                    

Pak Galang masuk ke dalam kelas dengan wajahnya yang datar, sama seperti kemarin. Hari dimana dia pertama kali berada di kelas ini. Setelah mendengar semuanya dari Silvi, aku memutuskan untuk pindah tempat duduk di bagian pojok kanan paling belakang, yang untungnya bangku itu sedang kosong. Pak Galang hanya mengajarkan beberapa teori dan juga bab yang sudah sempat diberikan oleh Bu Ida. Dia hanya mengulangnya, dengan cara yang berbeda, dan yang pasti jauh lebih mudah untuk dipahami.

Tapi, aku sama sekali tidak fokus kepada pelajarannya kali ini, aku hanya mencoret-coret buku di hadapanku dengan tanpa minat, setidaknya agar aku terlihat sedang menulis saja kali ini. Aku terus menunduk dan mengintip sekilas dari balik bulu mataku. Pak Galang yang fokus menuliskan semuanya di papan tulis putih itu. Aku mengamatinya dengan sangat saksama. Warna kulitnya yang coklat manis, lingkaran matanya yang tidak begitu terlihat, matanya yang begitu gelap dan selalu mengintimidasi. Aku menyukainya. Segala hal yang ada pada diri Pak Galang dan juga apapun yang ada pada kehidupannya, aku menyukainya, sangat.

Namun, tiba-tiba saja, tatapan Pak Galang mengarah kepadaku. Aku menundukkan kepalaku semakin dalam, ku biarkan beberapa helai rambutku yang tidak ikut ke dalam kepangan menutupi bagian sudut mataku. Meskipun begitu, aku yakin, dalam waktu beberapa detik tadi, aku melihat bahwa tatapan Pak Galang tidak lagi tajam dan begitu mengintimidasi. Tatapannya terlihat sendu, gelisah dan juga lelah.

Aku menghela napasku perlahan. Mencoba fokus ke pelajaran yang diberikan oleh Pak Galang, dan mulai mencatat apapun yang ada di papan tulis dengan cepat dan juga rapi. Setidaknya, aku tidak ingin berpapasan pandang dengan Pak Galang. Aku, merasa lemah saat melihat kedua matanya yang bersinar lain. Menggambarkan apa yang sangat jelas bisa aku baca dengan cepat. Aku tidak ingin sesuatu itu, malah membuatku terburu-buru dalam memutuskan sesuatu. Seperti saat aku memutuskan dan juga mulai menyadari kalau aku mulai menyukai Pak Galang.

“Baiklah, kali ini saya ingin kalian semua untuk membuat ulasan tentang novel kesukaan kalian. Ketik teks ulasan itu, beri gambar novelnya dan juga di print. Saya memberi kalian waktu selama dua minggu untuk mengerjakannya,” ucap Pak Galang sambil melangkah untuk duduk di bangku. Memperhatikan teman-teman yang mulai keluar dari kelas.

Silvi mendekatiku. “Aku mau cari makan siang sekarang. Kamu ikut nggak?”

Aku memasukkan buku-buku ku ke dalam tas, dan menggeleng perlahan. “Tidak... aku masih kenyang. Dan... tidak nafsu makan. Kau saja yang makan ya...”

“Oh, oke... duluan ya, Ly...” ucap Silvi sambil berlalu keluar dari kelas.

Aku melangkah perlahan melewati beberapa bangku yang menghalangi langkahku. Aku melirik kecil menatap Pak Galang yang mulai berdiri dari duduknya. “Lily...”

Langkahku terhenti seketika. Pak Galang memanggilku. Suaranya terdengar gelisah. Aku membalikkan badanku, melihatnya berjalan dengan susah payah mendekatiku. Dia berdiri tepat di hadapanku, tinggi menjulang. Wajahnya berubah tegang. Jakunnya naik turun. Matanya menatap liar ke arahku. Dan aku masih menunggu dia untuk berbicara.

Pak Galang berdeham. “Bisakah kita berbicara berdua Lily?”

“Untuk apa ya Pak?” Aku menatapnya bingung. Dan Pak Galang sesekali mengalihkan pandangannya dariku.

“Aku ingin meluruskan hal yang kemarin. Mungkin dengan minum es teh atau jus bersamaku, kalau kamu mau. Aku juga tidak akan memaksa.” Pak Galang menghela napasnya cukup keras.

Aku tersenyum kecil. “Tentu aku mau.”

Sudut bibirnya terangkat kecil. “Kalau begitu ayo, kita ke kantin.” Dia berjalan mendahuluiku. Namun kali ini, aku ingin berjalan sejajar dengannya, hingga ke kantin. Saat kami tiba di kantin banyak sekali yang memperhatikan kami, dan mulai berbisik-bisik. Tapi, sama seperti sebelumnya, Pak Galang tidak terusik sedikit pun.

Don't Let Me Go ✔️ {TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang