Langkahku terus membawaku menuju kantin, bersama dengan Silvi. Aku menghempaskan tubuhku ke salah satu bangku yang kosong. Menghela napas lega. Silvi duduk tepat di hadapanku. Tak ku pedulikan dia, dan meraih kotak bekal dari dalam tasku. Dua potong sandwich buatan Kak Refi. Aku meraih salah satunya, walau sebenarnya, aku masih tidak bisa menampik betapa berdebarnya hatiku. Aku menggigitnya kecil, dan melirik Silvi yang juga memakan bekalnya. Kami punya kesamaan, yaitu membawa bekal. Cukup menyenangkan, disaat semua teman-teman kampus, memilih membeli makanan dibandingkan memakan bekal mereka. Dan disinilah aku, memakan bekal buatan Kak Refi, walau sesekali aku sendiri bisa membuat bekal.
Aku bisa merasakan udara yang bebas, segar dan sedikit lembab. Membuatku tenang. Seakan semua rasa yang menekanku, menghilang begitu saja. Mengangkat wajahku–masih sambil mengunyah–aku menyambut sedikit sinar hangat. Aku memejamkan kedua mataku dan mencoba untuk menarik napas yang dalam, mencoba untuk memulihkan kembali apa yang terjadi pada hatiku. Dan menelan makananku dengan sedikit susah payah. Tidak ada yang pernah begitu mempengaruhiku seperti Pak Galang.
Aku mencoba untuk menarik napas mendesah lega. Berhasil. Demi Tuhan apa yang sebenarnya terjadi? Menggigit sekali lagi, bagian sandwich, dan kembali mengumpulkan tingkat konsentrasiku yang sempat menghilang. Lenyap, entah kemana. Aku menggelengkan kepala. Rasa panas yang menjalar di kedua pipiku. Apa itu? Tatapanku kembali fokus ke arah Silvi yang berdehem, dan menatap serius ke arahku.
“Aku masih saja tidak paham, dengan apa yang kamu ucapkan Ly...” ucapnya sambil memasukkan kembali kotak bekalnya ke dalam tas miliknya.
“Ucapan yang mana?” Dan sungguh kali ini, aku sama sekali tidak bisa nyambung dengan pertanyaan Silvi.
Silvi memutar matanya. “Yang tadi kamu bilang ke Pak Galang... sumpah, dia langsung diam... kau tahu lah.”
Aku menghela napas. “Yah,” Aku mengangkat bahuku. “Aku merasa kalau aku perlu bilang itu ke dia...”
Aku menghabiskan sandwich yang ada di dalam genggamanku dan menutup kotak bekalku, dimana masih ada satu potong sandwich di dalamnya. Samar-samar aku bisa mendengar Silvi mengatakan sesuatu, tapi aku sama sekali tidak memedulikan dia. Aku bergegas pergi, menuju parkiran sepeda motorku. Namun, belum sempat aku mengambil helm yang ada di sepeda motorku, seseorang menepuk pundakku cukup keras, membuatku meringis dan menatap orang yang menjadi pelakunya. Berdiri menjulang tinggi di hadapanku, Magdum, sahabat baikku, memegang sebotol minuman kemasan teh.
“Magdum! Senang melihatmu! Kamu tambah tinggi aja...” Aku memeluknya singkat sambil mendongak menatap wajahnya yang sumringah. Dia memberikan salah satu minuman itu kepadaku, dan dengan senang hati aku menerimanya.
“Itu juga mungkin karena kamu aja yang pendek. Aku juga punya berita yang bagus.” Dia menyeringai, bulu matanya yang cukup tebal bergerak–berkedip dengan cepat.
“Apa? Jangan bilang, kalau kamu di suruh bersihkan makar mandi lagi,” godaku, dia memutar matanya dan pura-pura cemberut. Lalu kembali dengan wajahnya yang sumringah.
“Film garapanku di youtube, mencapai lima juta viewers...” ucapnya dengan matanya yang berbinar.
“Itu luar biasa! Selamat ya...” Aku senang mendengar keberhasilannya. Aku memeluknya sekali lagi.
“Bagaimana kalau kita rayakan bersama. Berdua. Nanti malam, aku akan menjemputmu dan mentraktirmu makan. Jam tujuh malam, oke?” Ia tersenyum lebar, dan menatap tajam ke arahku. Penuh harap.
Aku menganggukkan kepalaku dengan cepat. “Oke... jemput aku, kalau begitu.”
Magdum semakin tersenyum lebar. Tangannya meraih helm yang ada di atas spion sepeda motorku, dan memasangkannya ke kepalaku. Mengetuknya beberapa kali, sebelum melangkah pergi ke arah mobilnya. Aku menatapnya, dan tersenyum. Magdum dan aku adalah sahabat baik, tapi aku tahu jauh di dalam hatinya, dia ingin sesuatu yang lebih, bersamaku. Dia imut, cowok berkulit hitam manis yang pernah ku kenal, tapi, dia bukanlah untukku. Dia pun juga tahu akan hal itu. Terkadang, Kak Refi, menggodaku untuk menerima Magdum sebagai kekasihku, tetapi aku tidak bisa. Aku hanya belum menemukan orang yang membuatku tertarik. Meskipun, aku sama sekali tidak bisa menampik, bahwa aku juga merindukan sesuatu yang membuat hatiku berdesir, detak jantung yang tidak berhenti berdetak kencang, malam yang dilalui tanpa tidur, dan tersenyum sumringah hanya dengan mengingat wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Let Me Go ✔️ {TERBIT}
RomanceLily Paramita merasa terganggu saat di tatap oleh dosen baru di kampusnya itu. Tatapan yang sangat tajam dan mengintimidasi itu, benar-benar membuat Lily merasa tidak nyaman. Terlebih lagi dia juga dikejutkan dengan fakta bahwa dosen baru itu berja...