Prolog
Dia Yang Tak Pernah Padam
Semburat warna pelangi kini tak lagi indah. Bayangan yang biasanya tampak mengikutinya kini tak lagi mengiringinya. Bisikan batin semakin mengusiknya, beradu antara angan-angan, cita-cita dan sebuah pengharapan. Kini dia dalam persimpangan. Buat sosok yang selalu menjadi idolanya, menjadi panutan dalam belajar menapaki jalan hidupnya, kini sudah berbeda. Mereka seperti pasangan berbeda usia yang selalu sehati dalam menentukan selera, apalagi soal rasa. Maafnya tak akan didengar, ketika sudah memilih jalan untuk berseberangan.
"Dokter itu membantu Bapak, analisanya jitu. Dokter itu mampu membuat Bapak lega." Kata Bapaknya sehabis konsultasi kepada dokter energik. Obsesinya kembali melayang pada cita-citanya dulu.
"Dulu Bapak kepingin sekali menjadi dokter, lho Ko. Sayang Kakekmu tidak memiliki biaya yang cukup." Koko yang merasa diajak bicara hanya diam, sambil memberi isyarat pada mata sipitnya disertai dengan anggukan kepala dan tanpa ekspresi muka.
Bapaknya semakin menerocok menambah keyakinan dirinya bahwa dokter adalah jurusan yang paling tepat sebagai jurusan yang harus Koko pilih. Kandasnya sebuah cita-cita masa mudanya, menuntut anaknya menjadi tumbal keegoisannya.
"Itu pilihanmu, Koko?" kata teman sembangkunya kala itu.
"Iya, ada yang salah," jawab Koko.
"Bukannya Bapakmu?"
"Halah," jawab Koko sambil meng-enter tombol android yang dia gunakan untuk mendaftar pertanda perseteruan dimulai.
Penentuan telah datang, mereka dihadapkan pada sebuah pilihan, untuk tidak saling mengalah.
Jangan khawatir karena dia bisa, karena dia sanggup tetap berada dalam sebuah perjuangan.
***
Peluh tertakar sepadan dengan keinginan. Keberpihakan atas diri menjadikan dia paham akan sebuah pengorbanan, untuk tetap bertahan pada keegoisan. Matanya semakin berkunang, sambil menahan perut yang menahan jeritan usus ketiha membutuhkan bahan untuk sebuah proses kehidupan. Kerongkongan kering namun kerja belum usai. Sebuah keadaan membawanya pada suatu perubahan membawa pada semangatnya yang tak pernah padam.
Dari tempat tidur, petugas yang berjaga dan aroma khas dia sadar kalau dirinya berada di sebuah rumah sakit. Namun yang dia butuh jawaban ketika siuman adalah mengapa dirinya berada di ruang yang bertuliskan UGD Rumah Sakit Sudi Waras."Kenapa saya di sini, Suster, ada apa dengan saya? Tanyanya dengan pelan pada suster yang sedang memeriksa suhu badannya.
"Seorang Bapak telah membawa Mas ke sini. Mas ditemukan pingsan," jelas suster dengan ramah.
Koko hanya mengangguk sebelum datang sahabatnya, Ikhsan.
"Ya kamu terlalu capai. Dari Pak Kamso saya tahu kalau kamu dibawa ke rumah sakit ini oleh seorang bapak yang baik hati." Kata Ikhsan.
Wanita itu cantik dan baik hati. Atas restunya Koko bisa melanjukan kuliahnya di kota Malang. Juga adik satu-satunya. Kedua wajah perempuan itu berganti muncul dalam angan Koko. Dua perempuan yang sudah lima bulan dia tinggalkan. Dinginnya ruangan UGD mengingatkannya pada sosok bapaknya. Keras, tetap pada keinginannya memaksa anaknya untuk menuruti obsesinya.
"Suster saya sudah bisa pulang kan? Saya sudah sehat." Kata Koko sambil berusaha berdiri dengan posisi sempoyongan. Beruntung Ikhsan cepat menyangga tubuhnya yang semakin terkikis lantaran kurangnya asupan makan, sepertinya.
"Aku mau pulang, Ikhsan," katanya pelan.
Bayangan berapa harus Koko bayar seandainya dia tetap dirawat di rumah sakit ini. Dia menjalani kehidupan yang tidak sebenarnya. Cita-citanya membawa pada suatu konsekuensi yang tidak sebenarnya. Ikhsan hanya diam, setelah membantu Koko pada posisi berbaring. Ikhsan bisa membaca raut wajah sahabatnya yang dalam keadaan bimbang. Kini Koko terbaring lemah.
Bayangan wajah ibunya berseliweran kembali. Senyumnya menghampiri anaknya, Koko yang terbaring lemah. Dia tidak akan menyerah dengan segala ketakberdayaannya. Dalam keadaaan seperti ini dia masih mampu bertahan. bahkan melarang Ikhsan menginformasikan keadaan ini kepada orang tuanya.
"Bisa aku menelepon ibumu, Ko?" Ikhsan mengajukan sebuah alternatif yang menututnya adalah sebuah solutif.
Dia hanya membalas dengan gelengan kepala pelan, pertanda bahwa dia tidak menginginkan alternatif yang ditawarkan oleh sahabatnya.Masih adakah peluang mencapai kesuksesan dengan semua keadaan ini? Koko lelah menghadapi kenyataan. Akankah dia menyerah pada kondisi seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA YANG TAK PERNAH PADAM
General FictionMeskipun dia orang yang serba kecukupan, perjuangan mencapai cita-citanya harus dilakukan dengan sekuat tenaga. Koko mewujudkan cita-cita secara mandiri. Tidak terbayangkan keadaan akan sesulit dan serumit ini. Perlawanan yang dia lakukan menjadi pe...