"Selamat Koko, aku lihat ada namamu di pengumuman siswa yang diterima di SNMPTN di website sekolah,” kata cewek manis yang menurut Bapaknya dicurigai sebagai alasan Koko memilih jurusan teknik informatika.
“Ya terima kasih. Kamu juga selamat ya?” jawab Koko dengan muka bersunggut dan segera meninggalkan cewek manis yang duduk di deretan depan di kelasnya.
Koko menuju satu tempat duduk panjang warna hijau dekat perpustakaan. Di bangku itu teduh karena ada pohon ketapang dengan daun yang rimbun di dekat bangku tersebut. Suasana di sekelilingnya sangat sepi karena kegiatan, karena pembelajaran sudah berakhir. Siswa kelas XII sudah ujian sekolah, ujian nasional juga bukan hal yang ditunggu-tunggu lagi sejak dua tahun terakhir ini. Sekarang hanya tinggal menunggu pengumuman saja. Koko duduk dan diam, barangkali sedang menyiapkan strategi jitu untuk meyakinkan bapaknya.Berkecamuk pikiran Koko, karena ada rasa yang membuat dirinya tidak nyaman. Semestinya dia senang lantaran tidak banyak temannya yang berkesempatan diterima tanpa tes di perguruan tinggi negeri pilihannya. Ada beban yang dia pikirkan, bagaimana mengomunikasikan kabar gembira ini. Ini adalah kabar gembira bagi dirinya, namun tidak demikian bagi Bapaknya. Makanya tidaklah mengherankan kalau dia berusaha memikirkan cara terbaik agar bapaknya luluh.
Tiba-tiba hape iPhone 12 pro max miliknya bergetar.
“Ya, Bu waalaikum salam,” Koko menjawab salam.
“Selamat ya, Ibu sangat senang, kamu diterima melalui jalur undangan. Ibu memperoleh kabar itu dari pesan yang dikirim oleh pihak humas sekolahmu.” Kata ibunya.
“Terima kasih.” Jawab Koko tidak bersemangat.
“Sebentar kita telepon Bapak untuk mengabarkan berita gembira ini,” sambung ibunya.
“Ibu sajalah,” kata Koko.
“Kamu siap-siap ini Ibu dan Kaila sedang otw sekolahmu,” lanjut Ibunya.Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti di parkiran. Koko mendekati mobil tersebut dengan jalan tak terarah. Dia tidak bersemangat. Segera membuka pintu mobil dan disambut oleh Kaila, adiknya yang heboh, “Selamat ya Kak. Kalau aku nanti kuliahnya di luar negeri. Keren kan, keren kan, Kak?
“Iya, keren,” jawab Koko singkat.
“Bapak,” kata Ibunya sambil menunjuk ke arah hape yang berdering.
“Assalamualaikum, Bu,” sapa Bapak dari tempatnya bertugas. Baru sepuluh hari Bapak kembali ke tempat tugasnya, tidak lama lagi akan kembali ke Makassar dalam rangka tugas negara.
“Waalaikum salam. Pak ada kabar gembira. Koko diterima jalur undangan.” Kata ibunya dengan girang.
“Jurusan apa?” Tanya Bapaknya
“Teknik Informatika,” jawab ibunya kemudian melanjutkan pertanyaan, “Mau bicara sama Koko?”
“Nggak usah, anak tidak tahu diri.” Kata Bapaknya.
“Kita harus apresiasi kemenangan Koko, Pak.” Sambung ibunya.
“Tidak usah.” Jawab Bapaknya dan sesaat kemudian mengakhiri panggilan dengan Ibu.Dari arah deretan jok mobil belakang Koko mendengar meskipun tidak terlalu jelas apa yang dikatakan oleh bapak. Hal tersebut tidak membuat Koko patah semangat. Baginya Bapak sudah mulai mengumandangkan sebuah perseteruan, sepertinya Bapak akan tetap memaksa obsesi masa lalunya, agar anak laki-laki satu-satunya menjadi dokter.
Kini Koko menjadi tenang, seperti layaknya pelari yang sedang menggambil ancang-ancang. Dia diam tidak bereaksi apa pun atas sikap Bapak barusan.
“Itulah Bapakmu, Koko. Obsesinya agar kamu menjadi dokter belum juga surut.” Sambung Ibunya.
“Iya, tuh Bapak main paksa saja. Ini kan bukan zaman Siti Nurbaya?” lanjut Kaila sambil meringis.
“Ah ini, Jaka Sembung lah, De. Alias nggak nyambung.” Kata ibunya.
Ibu dan anak perempuannya tertawa lepas. Namun tidak demikian dengan Koko. Dia tidak bereaksi terhadap adiknya yang suka bikin heboh. Ada suatu rencana yang telah dia susun. Setelah ia mengkomunikasikan kepada kedua orang tuanya tentang keinginan kuliahnya ternyata bertolak belakang dengan obsesi Sang Bapak.
Sikap pantang menyerahnya ditunjukkan dengan mencari informasi tentang kuliah di jurusan tersebut. Tak lupa dia juga mencari informasi tentang kota Malang, kota yang akan dia tuju sebagai tempat kuliah.
“Ibu aku akan tetap pada keyakinanku untuk kuliah di teknik informatika di Malang.” Katanya.“Ya kita tunggu Bapak,” kata Ibunya.
“Untuk apa? Sudah jelas-jelas Bapak tidak menyetujui. Biar saja, Bu aku akan tetap kuliah di jurusan itu.” Kata Koko dengan memelas.Bayangan tokoh-tokoh gamer sukses satu persatu melintas di kepalanya. Keinginannya sangat keras. Dia ingin sukses dengan hobinya seperti suksesnya mereka, tokoh gamer yang sering dibacanya. Rupanya dunia games telah meracuninya, mengalahkan obsesi orang tuanya. Dengan jurusan tersebut dia beranggapan hobinya akan semakin berkembang dan bisa sebagai mata pencaharian.
“Tunggu Bapak dulu, jangan tergesa-gesa diputuskan, Nak. Pekan depan, Bapak ada Simposium di Makassar. Kita coba sekali lagi negosiasi sama Bapak.” Ibunya menyarankan.
“Alah percuma kayaknya, Bu.” reaksi Koko cepat.
“E e e jangan begitu, kita coba satu kali lagi,” ajak Ibunya.
Koko hanya diam, tidak menjawab satu kata pun. Dia tidak menyerah malah sudah menyusun strategi apa yang harus dilakukan di sana. Koko yang intuiting, dari dulu memang selalu konsisten pada pilihannya, tidak mau mengalah sedikit pun, berkorban demi keinginan Bapaknya.Simposium yang dijadwalkan akan diikuti oleh Bapaknya berlangsung selama 4 hari. Karena Pak Kahar berdomisili di Makassar makanya panitia memberi keringanan tidak wajib menginap di hotel. Tadi subuh Bapak baru sampai di rumah dari tempat tugas dan belum sempat mengobrol dengan anak-anaknya langsung pergi ke hotel tempat dilaksanakannya acara Simposium. Acara tersebut berlangsung sampai malam.
Senja makin merona dari kejauhan nampak cantiknya rona jingga mengiringi terbenamnya sang surya. Suara azan mengingatkan umatnya untuk segera mendirikan salat. Selepas salat magrib Koko sengaja duduk di teras depan, seperti ada yang dia nantikan, entah siapa. Atau ada sesuatu yang sedang direncanakannya. Yang jelas besok dia akan menghubungi Ikhsan, sahabatnya yang sudah lebih dahulu kuliah di kota Malang meminta informasi peluang bekerja dan meminta tolong agar mencarikan masjid, sebagai tempat tinggal gratis, yang dekat dengan tempat kuliah. Keadaan memaksa dia berbuat demikian. Kemandiriannya tumbuh seiring dengan tuntutan.
Beberapa saat kemudian mobil Bapaknya memasuki pekarangan rumah. Berlagak tidak ada apa pun yang sedang terjadi Koko menyapa Bapaknya. Mereka duduk berdua.
“Jadi kamu sudah mantap dengan pilihan tempat kuliahmu?” tanya Bapaknya melanjutkan pembicaraan.
“Iya, Pak.” Jawab Koko singkat.
“Sepertinya kamu tidak mau lagi mendengar saran Bapak.” Lanjut Bapak.
“Bukan begitu, Pak.” Koko menjawabnya dengan datar.Hambar, seperti ada yang kurang, belum ada solusi atas persoalan yang sedang menderanya. Dia masih menunggu reaksi Bapaknya dan berharap akan ada sebuah kelonggaran atau kebijakan atas pilihan anaknya. Dia menoleh dan memperhatikan sekeliling. Tidak ada maksud dan tujuan, hanya mengalihkan ketegangan menunggu sebuah keputusan.
Koko masih diam, tidak ada komentar. Kali ini harapan yang ditunggu-tunggu sangatlah mengecewakan. Bapak memberi dua pilihan agar Koko meninggalkan rencana kuliah jurusan teknologi informasi di Malang atau tetap menuntut ilmu di sana dengan risiko bapak tidak makan membiayai kepentingan hidup dan uang kuliah.
Bersambung….
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA YANG TAK PERNAH PADAM
General FictionMeskipun dia orang yang serba kecukupan, perjuangan mencapai cita-citanya harus dilakukan dengan sekuat tenaga. Koko mewujudkan cita-cita secara mandiri. Tidak terbayangkan keadaan akan sesulit dan serumit ini. Perlawanan yang dia lakukan menjadi pe...