Pernah

2 2 0
                                        

Suka tidak suka Hanatan menyantap makanan dimeja persegi berwarna coklat muda, hanya ada nasi goreng, telur ceplok setengah matang, dan segelas air putih hangat.

Candra teman Hanatan, kerja di restoran makanan khas dari jawa dan bali.

Ada sate lilit, soto ayam, pecel, dan menu enak yang lainnya

Hanatan memesan menu yang paling istimewa, namun ia malah hanya diberi sepiring.

Telur ceplok setengah matang yang berukuran kecil.

Hanatan hanya butuh sekali mangap saja untuk menelannya.

"Gue pesen serius-serius, malah loe nyajiin gini doang," Hanatan menganga lebar, memasukan telur ceplok setengah matang itu kemulutnya.

"Ya itu menu paling istimewa buat loe," ucap Candra yang berdiri disamping meja memerhatikan Hanatan, ia menggeleng pelan heran.

"Jadi chef loe cuman mampu masak ini doang?" Hanatan mengangkat satu alis. Sorot matanya terlihat mengejek.

Niatnya Candra mau mengerjai Hanatan, untuk membuat Hanatan kesal malahan ia yang kesal sendiri. "Ya gak lah, gue kan udah kuliah, udah terlatih masak yang lebih sulit lagi," sanggah Candra. Ia tahu Hanatan sedang menguji kesabarannya.

"Tapi rasanya biasa aja sih, kayak nasi." Hanatan mengunyah satu suap. Ia mencecap pelan, seakan Hanatan adalah juri disebuah ajang kompetisi memasak.

"Ya emang nasi goreng, bahan dasarnya nasi, mana ada masak nasi rasa pepes jangkrik!" Candra gedek sendiri, mulut Hanatan memang tengik.

"Kalo gini loe gak layak jadi chef," ejek Hanatan tersenyum remeh. Ia masih terus makan. Pipinya menggembung penuh.

"Terus kenapa loe lahap gitu makannya!" Candra sewot.

"Yah, loe udah masak ya gue makan, mau gue muntahin?" Hanatan makin meledek Candra yang sudah memerah wajahnya.

"Jorok, janganlah, ngawur loe" Candra bergidik geli, bagaimana kalau Hanatan benar-benar melakukannya.

"Ya udah sana loe buru kedapur, mentang-mentang lagi sepi, malah ngobrol mesra sama gue," goda Hanatan mengerlingkan mata.

"Mesra mata loe juling!" Candra berlalu dengan dongkol, ingin sekali melempar nampan yang ia genggam pada Hanatan.

Hanatan menelan dengan cepat, tenggorokannya terasa serat, lalu ia minum air putih hangat menyisakan setengah gelas.

"Hahaha!" Hanatan tertawa puas.
Suara berat dan sedikit serak itu terdengar nyaring.

Restoran disini mempunyai prinsip antara chef dan pengunjung harus saling berkomunikasi, artinya yang memasak dan mengantarkan pesanan adalah juru masaknya sendiri dan mendengarkan permintaan yang beragam dari pengunjung. Akan tetap dibantu oleh pelayan juga tentunya.

Karena ditempat itu belum ramai, Candra mengantarkan seorang diri, hanya ada Hanatan yang memesan.

Bagaimana tidak Hanatan datang dimana baru 2 menit restoran dibuka.

Hanatan masih sibuk mengunyah nasi gorengnya, ia mengedarkan pandangan keluar jendela kaca, disana ia bisa melihat area parkir dan jalan raya masih terlihat lengang.

Tidak bising ia menyukainya, telinga Hanatan sebenarnya merasa sedikit nyeri. Ia sering mendapati lawan bicara kesal dan berteriak padanya.

Sampai ada langkah kaki dan roda koper mendekat kearah Hanatan, ia bisa mendengarnya dengan jelas. Sepasang kaki jenjang menapak dihadapannya. Tangan lentik nampak menggenggam pegangan koper.

"Boleh aku duduk disini?" tanya si cantik berambut ikal. Ia mengenakan blouse chiffon bermotif bunga, celana joger, sepatu flatshoes berwarna ungu. Semua serba ungu, warna favoritnya.

Uncover twilightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang