Aku termangu di hadapan sekotak kosmetik. Mereka memintaku untuk menjadi salah satu brand ambasador produk-produk tersebut. Aku mengambil sebotol shower gel berwarna light green dengan jemari gemetar. Napasku terasa terhenti di tenggorokan, suaraku enggan keluar. Bayangan pengambilan gambar jika aku menjadi model shower Gel tersebut seperti mengancam di depan wajahku.
Ragu-ragu aku memutar penutup botol tersebut dan mengisap aromanya. Wangi yang menenangkan. Campuran antara kenanga dan zaitun. Namun yang kurasakan adalah perasaan yang sebaliknya.
Tak akan ada yang mengerti mengapa aku demikian ketakutan dengan adegan membuka baju, ini tidak ada hubungannya dengan anti mengumbar aurat, rasa malu atau semacamnya. Seharusnya tubuh jenjang dan kulit halus yang terang menjadi modal bagi rasa percaya diri. Namun bukan itu. Bukan tentang fisik yang biasa terlihat orang lain dari luar. Ini tentang satu hal yang aku rasakan namun sulit untuk aku ungkapkan.
Managerku, wanita paruh baya dengan wajah oriental berjalan hilir mudik di sampingku. Suara high hill-nya yang menginjak lantai sungguh menganggu. Sebuah ponsel masih menempel di telinganya sejak beberapa menit lalu. "Ok." "pasti mau!" "kapan?" Jeda beberapa saat, tanpa ia menghentikan langkahnya. "Minggu depan hari rabu jadwal Louisa kosong."
Tanpa meminta persetujuanku dengan seenaknya ia mengatur jadwal untukku. Seperti minggu lalu, ketika kami berjumpa dengan produsen produk kosmetik tersebut. Tentang kesiapanku untuk membangun image bersama produk mereka.
"Miss ... " Wanita itu masih belum selesai dengan ponselnya meski pembicaraannya sudah berakhir. "Miss." Aku mengulang dengan penekanan lebih dalam.
"Hmh." Ia mendaratkan tubuhnya di sofa marun berbahan suede di hadapanku.
"Aku hanya siap menjadi model make-upnya saja. Segala sesuatu yang digunakan di wajah." Ucapku datar. "Tidak yang lainnya."
Sepasang mata wanita itu langsung menyipit dan menatapku tajam.
***
Susan Sie nama managerku yang tadi kusebut, kini ia sedang berdiri di sudut studio menungguku menyelesaikan sesi pemotretan.
Kami berada di studio foto bergaya eklektik di kawasan Kalimalang-Jakarta Timur, setiap ruangannya memberi kesan hangat dan akrab, namun yang terjadi antara kami tidak demikian.
Aku menggenggam keping kotak bedak padat di tanganku dan mendekatkannya ke wajah. Menarik kedua sudut bibirku dengan simetris beberapa centimeter, kemudian kilatan blitz kamera berkali-kali berputar nyaris membutakan penglihatanku.
"Hmm ... " Fotografer berambut gondrong itu menurunkan kameranya. "Kau bisa mengingat sesuatu yang menyenangkan?"
"Apa?" aku tak mengerti pertanyaannya.
"Matamu kosong, kau bisa mengisinya dengan mengingat hal yang menyenangkan." Ia mengulang kalimat yang serupa dan sejenak kemudian aku mengenang Jingga, Dimitri dan masa kecil kami di pelataran peternakan.
Kami bertiga tumbuh di area peternakan di kaki gunung Pangrango. Kami sudah bersama sejak usia 9 tahun, bahkan Jingga dan Dimitri sudah bermain bersama sejak lahir, sebelum mereka mampu memanggil nama masing-masing dengan jelas. Dari beberapa foto masa kecil keduanya yang pernah kulihat, mereka terlihat seperti sepasang anak kembar yang tak terpisahkan, dengan rambut bergelombang dan mata yang sama-sama bulat, hanya saja kulit Dimitri tampak lebih terang ketika ia kecil.
Di sore hari yang berawan dengan hujan orografis halus yang menyerupai serbuk bunga jambu menabur wilayah peternakan. Jingga berlari paling depan, sesekali ia menoleh memintaku lebih cepat. Namun, bukan karena kecepatan lariku lebih lamban dari dia, hanya saja apa istimewanya seekor sapi Brangus melahirkan di hamparan 6 hektar peternakan sapi. Setiap hari pasti selalu ada sapi yang melahirkan.
Jolie nama sapi berjenis Brangus itu, ia lebih istimewa dibanding sapi lainnya karena tubuhnya jauh lebih kecil dan sulit sekali mengandung. Ketika sapi lain seusianya sudah pernah melahirkan, ia masih menjadi sapi lajang yang kesepian. Merumput di lapangan peternakan sendirian. Maka, ketika usianya melebihi tiga tahun dan akhirnya Jolie hamil, Jingga yang hampir setiap hari meminta izin petugas peternakan untuk bermain bersama Jolie menjadi seseorang yang paling gembira.
Setiap saat Jingga bertemu denganku atau Dimitri, kehamilan Jolie adalah tema pembicaraan, tanpa peduli pendengarnya memiliki antusiasme yang sama atau tidak.
Beberapa detik kemudian kami sudah sampai di kandang Jolie. Ruang segi empat yang tak lebih dari 3 meter persegi dengan susunan kayu setinggi orang dewasa. Jolie tengah berbaring dengan kedipan mata yang sayu di atas hamparan rumput-rumput kering, menempel pada perutnya seekor bayi sapi yang masih dipenuhi lendir tengah dibersihkan oleh Om Richi, ia ayah Dimitri sekaligus kepala pengembangan embrio di peternakan ini.
"Jolie mendapatkan anak jantan." Dimitri mengabari kami yang terlambat datang.
Jingga melangkah perlahan mendekati Jolie dan bayinya, seperti seseorang yang tengah mengendap-endap. Pada mata gadis itu aku melihat luapan kebahagiaan yang tak terkatakan. Tanpa merasa jijik Jingga meraih wajah bayi sapi itu ke depan wajahnya hingga nyaris tanpa jarak, seperti seorang ibu yang menatap bayi yang ia lahirkan untuk pertama kalinya.
Salah satu alis Dimitri terangkat dengan kepala yang menggeleng-geleng. Anak laki-laki itu hampir sama denganku, menganggap biasa saja kejadian ini. Namun, melihat pancaran kebahagiaan di wajah Jingga, entah mengapa ada rasa bahagia yang juga menelusup dalam relung hatiku. Hingga hari ini, kenangan sore itu antara Jolie dan bayinya, Jingga dan kebahagiaannya dan Dimitri yang tiba-tiba berdiri di sampingku adalah hal yang paling melekat dalam ingatanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seseorang di Persimpangan
RomanceDi atas panggung aku adalah diva. Semua orang menatap penuh kekaguman ketika aku memainkan lagu dengan biolaku. Mereka bertepuk tangan, menyalamiku, dan melontarkan banyak pujian. Di belakang panggung, aku menyimpan rahasia. Rahasia yang mampu mengu...