"Hai, lihat Jingga?" Aku turun lagi dari mobil jemputan sekolah karena Jingga tidak kunjung datang, tidak biasanya ia membiarkan aku, Dimitri dan pak Sopyan, supir jemputan menunggu lama.Kami bertiga tidak pernah satu kelas lagi ketika SMA, lokasi kelas pun berjauhan karena jurusan yang berbeda. Untuk memudahkan, mobil jemputan menjadi satu-satunya tempat bertemu.
"Ada tuh, masih di depan kelas. Lagi diguyurin sama tepung." Jawab Mey teman sekelas Jingga.
"APA?" tanpa menunggu Mey selesai bicara aku sudah berlari menuju gerbang sekolah. Dimitri yang sebelumnya sudah duduk di dalam mobil kembali turun dan mengikutiku.
"Ada apaan?" teriak Dimitri, ia masih berjalan sementara aku sudah berlari panik.
"Jingga diguyurin pake tepung katanya." Jawabku, juga berteriak. Entah apa yang membuatku demikian panik. Karena khawatir penyakit asma Jingga kambuh, ataukah kejutan ulang tahun yang telah aku dan Dimitri persiapkan jadi terancam gagal terlaksana.
Aku ingat betul bagaiman ibunya Jingga selalu mengingatkan anaknya untuk memakai baju hangat, jangan dekat-dekat asap atau debu. Karena Jingga kecil begitu rentan sakit batuk yang selalu mengakibatkan penyakit asma Jingga kambuh.
Aku tiba di depan kelas Jingga ketika suara tawa masih membahana dan ucapan selamat diteriakan dari kejauhan karena teman-teman sekelas Jingga enggan mendekat. Di tengah selasar Jingga berdiri dengan sedikit membungkuk, rambutnya sudah tidak berbentuk, tertutupi terigu dan lelehan telur mentah. Semakin lama Jingga semakin merunduk, satu tangannya menopang tubuh sambil berpegangan pada lutut, tangan lainnya memegang dada dengan napas yang tersengal-sengal.
"Hei, apa-apaan kalian." Aku berteriak kalap. "Jingga, kau enggak apa-apa?" tanyaku semakinpanikmelihat bola mata Jingga memerah dan gerakan dadanya telah naik turun lambat dan dalam "Astaga, asma kamu kambuh!"
Perlahan setiap suara terdiam, Eros berdiri kaku di depan pintu. Dimitri datang menopang tubuh Jingga dari belakang, mendudukan Jingga di lantai.
"Kerjaan siapa ini?" bentakku murka. Semua terdiam, namun sorot mata mengarah pada Eros dan beberapa teman sekelas Jingga. Mataku nyalang menatap Eros, pemuda itu memang telah membuat aku muak sejak lama. Dia salah satu atlit basket sekolah yang dengan penuh percaya diri datang ke peternakan khusus untuk menemui Jingga.
Jingga menolak pernyataan cinta pemuda plontos itu, namun Eros tak pernah menyerah. Dari mulai memberikan banyak hadiah hingga bunga, juga membantu Jingga dalam tugas prakarya.
Setiap orang percaya ada sisi lembut dan sisi bringas yang tersimpan dalam setiap diri manusia, yang bisa keluar jika dibutuhkan dalam keadaan terjepit. Siang itu aku mengerahkan seluruh kebringasanku,menyerbu memukuli Eros tanpa ampun. Cekalan tangan yang menahanku turut terkena pukulan. Secara teori dan praktek aku tidak pernah belajar berkelahi, namun instingku membantu kedua tanganku mengepal.
Aku menarik baju Eros dan memukulinya bekali-kali. Lelaki itu mengelak dan menahan tanganku.Kekuatan kami beradu.Aku merasa telah mengenyahkannya dari muka bumi ketika berhasil mengempaskannya dengan tendanganku. Entah ini kemarahanku karena melihat Jingga tersakiti ataukah sekumpulan rasa cemburu setiap pemuda itu tersenyum, berbicara dan mendekati Jingga. Mungkin juga gabungan dari keduanya.
"Loui, hentikan!" Sentak Dimitri meminta aku berhenti mengamuk. Ia tengah menekan inhalerdimulut Jingga. Beruntung gadis itu selalu membawa ihelernya ke mana pun ia pergi. Aku mendorong Eros ketika ia hendak bangkit dan melemparkan sebuah kado yang tadi ia pegang di pankuannya.
Setelah napas Jingga sedikit membaik Dimitri membawanya dalam gendongan karena Jingga begitu lemah dan matanya terpejam rapat. Aku melangkah di belakang dengan membawa tas Jingga, tidak peduli sama sekali pada bisikan mereka yang masih terkejut melihat duel yang tampak tak seimbang tadi. Persetan, mereka akan membicarakanku, menghinaku atau bahkan melaporkanku pada pihak sekolah.
Kejutan yang telah kami persiapkanbenar-benar batal terlaksana.Kado yang aku siapkan sejak seminggu lalu, yang aku beli khusus di Jakarta.Sebuah syal rajutan berwarna biru laut dan sebuah novel sejarah terbungkus kertas daur ulang tetap tersimpan di bawah jok mobil berdampingan dengan kue tart yang kami persiapkan.
"Sebenarnya, kau tak perlu semarah tadi." Ucap Dimitri yang duduk di depan.
"Hei ... dia menyakiti Jingga." Tukasku ketus.
"Mungkin karena Eros enggak tahu kalau Jingga punya penyakit asma, dia hanya ingin membuat kejutan seperti kita."
"Kenapa kau jadi membela dia?" kalimat Dimitri barusan terdengar menyebalkan, ah ... apa pun yang membuat Eros berada di pojok yang benar membuatku mual. "teman kita itu Jingga, bukan dia. Jadi enggak ada gunanya ngebela dia."
"Aku tidak membela Eros, hanya kasih kemungkinan kenapa dia begitu, jadi kau bisa berpikir ulang lain kali kalau mau ngamuk."
Tangan Jingga meraih tanganku tanpa membuka matanya. Aku seketika diam karena genggaman tangan itu menyiratkan bahwa aku harus berhenti mendebat Dimitri.
Jingga tergolek lemah, terayun-ayun di kursi tengah tanpa pernah tahu bahwa kedua sahabatnya menyiapkan sebuah kejutan untuknya. Aku kembali membersihkan rambutnya dari sisa-sisa tepung terigu yang mengeras, sambil aku pandangi wajah pias itu lekat-lekat. Rasanya aku ingin melindunginya seumur hidupku, tanpa pernah mengira bahwa ia jauh lebih tegar dari kami berdua.
Setelah siang itu, aku meneliti hatiku. Ternyata bukan hanya marah karena Eros membuat penyakit asma Jingga kambuh, tetapi karena cemburu. Cemburu pada Eros yang selalu berusaha merebut perhatian Jingga. Entah mengapa rasa itu yang bergema lebih kuat.
Aku mengakhiri mengenang kejadian itu ketika bus yang aku tumpangi dari kota Jogja masuk ke terminal Kampung Rambutan.Hari baru beranjak malam karena sisa-sisa lembayung di langit barat masih berwarna keemasan. Satu-satunya nama yang aku tuju hanyalah Jingga, untuk menemui Dimitri aku harus mengumpulkan lebih banyak keberanian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seseorang di Persimpangan
RomanceDi atas panggung aku adalah diva. Semua orang menatap penuh kekaguman ketika aku memainkan lagu dengan biolaku. Mereka bertepuk tangan, menyalamiku, dan melontarkan banyak pujian. Di belakang panggung, aku menyimpan rahasia. Rahasia yang mampu mengu...