Wajah Hans Jo yang Mendekat

4 1 0
                                    


Entah termaktub dalam kitab mana yang disebut Susan Sie sebagai teori besar di dunia hiburan itu, yang jelas dengan tangan tak terlihatnya ia mengatur semua waktu dan kegiatanku untuk selalu disisipi nama Hans Jo di sana.

Seperti siang ini, ketika aku datang ke studio Blossom Festival untuk latihan biola tiba-tiba saja Hans Jo muncul. Ia melambaikan tangan dari luar ruang latihan, mata kami bertemu pandang melalui kaca pembatas kedap udara yang lebar.

Pemain music yang terlibat dalam Jakarta Music Blossom Festival tidak terlalu banyak karena melibatkan beberapa musisi dan band terkenal, yang hari ini datang pun tak seluruhnya. Hampir semuanya tidak peduli pada seseorang yang baru saja melambai itu, kecuali Lena salah satu pianis yang tengah memainkan pianonya di sampingku. Ia mengangkat wajahnya, jemarinya sudah tak lagi konsentrasi pada permainannya.

Mulut gadis itu ternganga. "Hans Jo." Desisnya. "Dia melambai padamu?" kepalanya miring menghadapku, permainan pianonya sudah terhenti. Aku hanya menggedikkan bahu, tak ingin membahas dan tak mau terjebak dalam antusias gadis itu.

Seandainya aku bisa menghindari Hans Jo semudah menghindari keingintahuan Lena, barangkali pekerjaanku akan lebih mudah. Aku hanya tinggal bermain biola seperti yang selalu kuinginkan. Tidak perlu muncul di acara infotainment hanya untuk mengumbar kemesraan palsu bersama lelaki itu.

Semakin aku mencoba membuka hati untuk menyukai pemuda itu, seperti permintaan Susan Sie, semakin kuat rasa menolak di dalam diriku. Kendati setiap wanita nyaris berputar demi memandangnya. Entah mengapa, memandang Hans Jo rasanya masih sama saja seperti melihat pemuda lain yang melintas di depanku.

Usai kedatangan Hans Jo ke studio latihan Blossom Festival tempo hari, hanya karena alasan ia ada shooting di lokasi yang berdekatan. Ia memintaku untuk menemaninya menghandiri gala dinner sebuah peluncuran produk mobil sport, di mana ia menjadi salah satu anggota club mobil mewah tersebut.

Dengan khusus Susan Sie mengajakku ke sebuah butik, memilihkan gaun satin berwarna marun dengan korsase hitam penuh taburan manik.

Pintu masuk menuju gala dinner itu dipenuhi wartawan, mulai wartawan majalah otomotif hingga wartawan gosip. Lagi-lagi aku tak kuasa menolak ketika Hans Jo meraih bahuku untuk pengambilan gambar para wartawan. Aku menggeleng dengan kuat ketika Hans Jo mengatakan salah satu dari mereka ada yang ingin mewawancarai kami.

Sebuah area panjang menuju ballroom hotel dipenuhi jajaran mobil-mobil mewah, lengkap dengan stand girls berpakaian mini nan menggoda. Sejenak, Hans Jo melepas genggaman tanggannya untuk mendekati sebuah sedan sport dua pintu berwarna merah menyala.

Aku berharap bisa menyelinap untuk melarikan diri, namun Hans segera menyadari ketika aku berjalan berlawanan arah dengan dirinya.

"Louisa, mana yang paling kau suka?"

Seketika langkahku langsung terhenti dan menoleh. "Semuanya. Tapi ada yang paling tidak aku suka ... "

"Mmmhh?" Ia memasang wajah menggoda.

"Cicilannya." Ucapku sambil melangkah mendahuluinya.

Ternyata begini rasanya menjalani sesuatu tanpa menyertakan seluruh emosi dan jiwa kita. Aku bagai sebuah selubung kosong yang berjalan, diarahkan ke kanan atau ke kiri aku menurut. Diminta duduk atau tersenyum, aku pun manut. Semua wajah yang menyapa Hans Jo tak ada satu pun yang aku kenal, tetapi aku tetap memasang wajah berseri bak boneka porselen.

Karpet tebal bermotif flora, set kursi berdesain art deco, gelas, piring, dan sendok yang berdenting serasa memiliki mata dan mulut, yang kelak akan melaporkan prilakuku pada Susan Sie jika aku berbuat ulah malam ini.

Tapi, apa peduliku.

Semua makanan yang disajikan ke hadapanku aku lahap hingga tak bersisa, bahkan aku menghabiskan garnis yang tersebar di piring datar yang menyajikan blackpepper salmon grill. Menu pembuka, menu utama, menu penutup yang berupa apple pai dengan lelehan brown sugar aku libas dengan cepat, serupa orang lapar yang kerasukan. Dengan begitu, semoga Hans Jo tidak pernah berniat mengajakku makan malam di lain waktu.

Hans Jo menahan tanganku ketika aku akan turun. Jantungku berdetak hebat, ingin segera lolos dari situasi yang terasa menghimpit dadaku.

"Thanks ya udah nemenin aku."

"Sama-sama."

Lelaki itu masih menahanku. "Kau tak mengundangku untuk turun?"

"Ini sudah larut, Hans."

"Hmmm ... Ok." Terdengar desahan yang berat diikuti hening yang agak panjang.

"See you." Aku membuka pintu.

"Sampai besok, Louisa." Hans Jo mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Bye, Hans." Aku segera menarik lenganku, berjalan dengan setengah berlari menuju lobi apartemen dan tak menolehnya lagi.

Sisa malam itu aku kesulitan memejamkan mata, mungkin hanya sekitar satu atau dua jam saja menjelang pagi, itu pun diakhiri mimpi buruk yang membangunkanku dalam keadaan kuyup oleh keringat.

Aku mengurung diri di kamar seharian penuh. Dua ponselaku biarkan kehabisan batre, telpon apartemen yang berdering puluhan kali tak kuhiraukan.

Kejadian semalam ketika Hans Jo mendekatkan wajahnya hendak mengecupku, ah atau entah apa namanya itu, menyisakan rasa malu yang dalam. Aku seakan di seret ke tengah coloseum dan dipermalukan di sana, satu demi satu pakaianku ditanggalkan lalu aku di arak dan ditertawakan. Rasa seperti itu yang meremas-remas jantung dan seluruh otakku. Untuk kesekian kalinya, aku benamkan wajahku ke atas bantal dengan teriakan yang memerihkan tenggorokan.

Seseorang di PersimpanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang