Aku mengenakan bolero dari kain tenun ikat untuk melengkapi dress jersey hitam, menatap poster sebuah film horor nasional. Susan Sie memaksaku tadi pagi untuk menghadiri premier pemutaran film ini.
"Hans Jo pemeran utama yang lagi naik daun itu yang mengundangmu langsung melalui aku," begitu katanya, lalu ia meneruskan dengan rayuan dan diakhiri dengan kalimat. "Pokoknya, aku jemput jam 5 sore."
Kadang kala aku menyamakan Mamiku dengan Susan Sie. Penampilan keduanya memang berbeda, Mami selalu ingin tampil seelegan mungkin dengan gerak-gerik lambat dan tertata, sementara Susan Sie di usianya yang melebihi 40 masih terlihat cekatan. Namun, mereka serupa satu sama lain dalam hal meminta atau menyuruh dengan paksaan.
Aku mendekatkan wajahku pada sebaris huruf yang dibuat serupa dipenuhi bercak darah bertuliskan Pengantin Kembar "Enggak ada judul yang lebih nendang, apa?" gumamku pelan.
"Hei, " sapaan si pemeran utama mengejutkanku, semoga ia tak mendengar gumamanku barusan. "Thank you, udah nyempetin datang." Jabatan tangan kami terasa terlalu lama, aku melepasnya dengan sedikit paksaan.
"Sama-sama. Sukses ya, untuk filmnya."
"Semoga, thank you." Lelaki itu tersenyum dengan lesung pipi yang dalam, di mataku lesung pipi itu menyerupai sebuah lubang.
Setelah saling menyapa dan berbincang beberapa saat, Hans Jo segera menarik lenganku dengan langkah gegas meninggalkan atrium yang sebelumnya digunakan untuk konfrensi press antara pemain, fans, dan media. "Ayo, aku tahu jalan lain menuju studio 1, lewat depan terlalu banyak kerumunan."
Aku mengkakukan lenganku, tak membalas pegangannya yang erat, tapi gerakannya yang terburu-buru membuat Hans Jo tak menyadari rasa keberatanku.
"Oh, tadi miss Susan titip pesan padaku, kalau dia harus pulang duluan karena anaknya sakit. Jadi ... "
Shittt ... pekikku dalam hati. Apaan-apaan perempuan itu, dia yang memaksa tetapi dia yang meninggalkan acara. Menjebakku dengan lelaki yang menurut dia menjadi idola separuh remaja di negeri ini. Yakinlah, jika aku masih remaja tanggung, aku termasuk ke dalam golongan yang lainnya.
Hans Jo terus menuntunku melalui sebuah lorong dengan cahaya lampu yang lebih redup, sesekali kami berpapasan dengan para wanita petugas bioskop yang mengenakan baju semi blazer dan rok panjang dengan belahan hingga paha, rambut mereka seragam dijepit dan digelung rapi. Di ujung lorong seorang security berbaju safari langsung menyambut dengan anggukan yang dalam.
"Silakan. " Ia menunjukan jalan. "Kemari, mas."
Lalu, kami pun tiba di sebuah ruangan yang langsung terhubung dengan ruang bioskop studio 1 tempat pemutaran film.
Sungguh, film horror adalah genre film yang paling kubenci. Tak ada satu pun film jenis itu yang aku tonton tamat dari awal hingga akhir. Rekor terlama hanya pada film Jelangkung, ketika itu aku mampu bertahan hingga 20 menit lalu langsung menarik Jingga keluar bioskop. Sejak itu aku tidak pernah lagi menonton film horror hingga kini.
Wajah oriental Hans Jo yang ternyata tidak terlalu membosankan untuk ditatap berlama-lama, bahkan oleh seseorang seperti aku, menjadi pengalih dari layar selebar dinding yang tak henti-hentinya hanya menampilkan gambar suram, tiba-tiba, dan dilatari musik mencekam. Semua perpaduan itu seperti mencekikku hingga tenggorokanku kering kerontang.
"Kau mau menemaniku keluar ruangan?" Hans Jo berbisik nyaris menyentuh daun telingaku.
Aku mengangguk kaku tepat ketika adegan Hans Jo yang tengah berlari entah dikejar apa.
Hans Jo kembali menggamit jemariku, kami menyusuri kursi-kursi yang terisi dengan membungkukkan badan sambil berucap permisi. Ia membawaku keluar bioskop dan menuju lift. "Kita mau ke mana? Ini filmmu, kau tak bisa meninggalkan premier filmmu begitu saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seseorang di Persimpangan
RomanceDi atas panggung aku adalah diva. Semua orang menatap penuh kekaguman ketika aku memainkan lagu dengan biolaku. Mereka bertepuk tangan, menyalamiku, dan melontarkan banyak pujian. Di belakang panggung, aku menyimpan rahasia. Rahasia yang mampu mengu...