Aku pernah mencintai nya melebihi diriku sendiri, aku pernah menyayanginya melebihi rasa sayangku pada diriku sendiri.
Aku pernah menjadikannya tokoh utama dalam cerita ku, aku juga pernah menjadikannya sebagai tempatku pulang.Aku pernah! Aku pernah melangitkan namanya dalam doaku, menyebut namanya dalam setiap sujudku, dan aku pernah.
Aku pernah menggantungkan seluruh kebahagiaan ku pada kehadirannya, aku pernah tidak mempedulikan siapapun yang datang agar dia tidak hilang.Hingga pada akhirnya semesta menamparku, semesta menegur ku dengan sangat amat tegas. Semesta memintaku untuk melihat bagaimana dia merespon kehadiranku.
Namun kenyataannya, pernah ku tak sedikit pun menjadikan dia mampu menghargai kehadiran ku.Sampai akhirnya, aku kehilangan diriku sendiri, aku melupakan diriku sendiri yang jelas-jelas hal pertama yang harus aku bahagiakan. Jujur aku hancur, aku rapuh, dan aku sakit, ketika aku benar-benar menggantungkan semuanya dia berlalu begitu saja tanpa memperdulikan aku.
Mengapa? Pertanyaan yang selalu menghantuiku, mengapa pada akhirnya aku yang harus terluka kembali, mengapa aku yang harus melalui fase ini lagi?
Fase dimana aku harus kembali bangkit, bangkit sendiri tanpa adanya penopang yang benar-benar mau membantuku.Hadirmu memang sebentar, bahkan aku masih ingat jelas kapan kita dipertemukan oleh semesta, namun jika aku ditanya bagaimana rasanya ketika bersamamu, jawabannya aku bahagia meskipun pada akhirnya semesta menyadarkan ku.
Kenangan yang mungkin akan membekas sekaligus menjadi luka untukku, semuanya akan berjalan begitu saja, mengalir seperti air dan akan berjalan semestinya bagai daun yang terus tumbuh pada pohon yang rindang.