Semilir angin berhembus syahdu dalam keheningan senja yang menghiasi cakrawala, rembulan malam bersinar begitu terang, nyiur-nyiur melambai tersentuh oleh angin malam, suasana rumah tua dengan aksen batavia yang masih sangat kental turut membawa suasana masa penjajahan, suara dengkuran burung hantu dan deritan pohon terdengar menegangkan. Pada waktu menjelang tengah malam grasak grusuk manusia nampak kebingungan tatkala perut buncit bereaksi minta dikeluarkan. Tengah malam air hujan terus mengguyur tanpa henti membasahi pucuk-pucuk daun mangga di samping rumah tua dengan aksen batavia yang sangat kental tersebut, derasnya hujan membuat teras rumah tergenang, karena air masuk melalui celah-celah genting.
Dari kejauhan tampak Hamidah membawa lampu ublik datang bersama seorang perempuan paruh baya, di tengah kepungan hujan malam itu Hamidah dan seorang dukun bayi langsung masuk kedalam bilik rumahnya yang sederhana, perempuan tua ternyata Mbok Parti, dukun bayi dari kampung sebelah. Tidak berpikir panjang Mbok Parti lantas bergegas membantu daging itu keluar dari perut buncitnya dengan susah payah mengharap segera keluar dan menghirup udara kebebasan.
Hingga akhirnya sosok bayi mungil dapat dikeluarkan dari rahim Solecha, suara tangisannya memecahkan ketenangan malam, memekikan telinga saat hujan turun begitu derasnya. Namun, kebahagian senyum Mbok Parti dengan peluh membanjiri sekujur raga dapat dituntaskan, perut yang buncit menjadi rata kembali. Sang suami ikut tersenyum dalam sendu kebahagiaan, menggenggam erat setiap jari jemari tangan istrinya dengan rasa kasih sayang, walaupun dalam kondisi lemas sehabis persalinan, mereka bersama menatap sang bayi sebelum dibawa dan dibersihkan.
"Wah... tak kusangka hebat betul istri kau, lagi-lagi kau dapat anak," seru Mbok Parti dengan logat Batak yang kental.
"Terima kasih Mbok," seru sang suami.
"Lihatlah matanya sangat mirip dengamu haha..." tawa kegembiraan Marzuki terus saja mengoceh pada istrinya yang terbaring lemah selepas persalinan.
"Kasih adzan anak itu Bah supaya soleh nanti," seru Solecha.
Marzuki mengerti dengan hal tersebut tak lama suara azan menggema memenuhi ruangan tersebut, lalu ia duduk diam termenung di tepi ranjang mengulurkan jabang bayi untuk disusui.
"Kita panggil dia apa Bang," Marzuki nampak berfikir menimbang-nimbang nama terbaik untuk anaknya yang tengah disusui istrinya.
"Bagaimana kalau Ismail saja," seru Solecha sambil tersenyum.
Nama yang bagus pikir Marzuki dia lantas tersenyum dan mengusap lembut surai istrinya.
"Hamidah kemarilah lihat adikmu," Hamidah yang datang terseok terseok melawan rasa kantuk malam itu menghampiri ibu dan keluarga barunya.
"Dia kecil sekali Bah siapa namanya," pinta Hamidah nampak sangat gemas ingin mencubit pipi adik barunya yang terlelap dalam dekapan sang ibu.
"Dia Ismail sayang, Ismail Marzuki," seru Solecha pelan.
Genap dua bulan Ismail Marzuki tumbuh dengan sehat, kaki mungilnya mulai aktif menendang dan tanganya dengan lincah mengetuk apapun yang ada dalam jangkauanya, Marzuki berbalut sarung dan kaos oblong putih kegemaranya memetik kecapi melantunkan nada nada ilahi di samping sang istri, Hamizah dengan terampil menggait satu persatu benang menyatukanya menjadi pakaian jadi yang elegan, namun entah mengapa atmosfir hangat itu tak tersampaikan kepada Soleha yang terus mematung lemas dan lemah dengan tubuh kurus menggendong Ismail dalam dekapanya.
Marzuki tak tinggal diam dia sebenarnya curiga dengan keadaan istrinya yang terus bertambah kurus dan lemah, tak jarang dia bertanya pada sang istri namun dia hanya tersenyum dan menjawab seenaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAUDADE: Antara Rindu dan Nostalgia Simfoni Ismail Marzuki
Historical FictionJauh di sebuah sudut kota Batavia lahirlah seorang maestro besar Indonesia yang mewariskan tak kurang dari 200 lagu pada umur 44 tahun. Beliau adalah salah seorang komponis besar Indonesia dialah Ismail Marzuki si jenius dengan segudang keahliaan da...