Keping 8 Serendipity

14 3 0
                                    

Berat badan naik lagi, tinggi badanya bahkan mampu untuk menyentuh ujung pintu yang terasa tak mungkin untuk di gapai. Beberapa tahun lalu, Ismail sudah seutuhnya menjadi laki-laki tampan, ya... walau mungkin hanya Ismail yang mengakui hal itu selain Abah dan Simboknya. Hamidah sendiri tak lagi tinggal bersama dengan Abahnya, dia sekarang berada di rumah mertua saudagar yang tidak terlalu kaya tapi rumahnya cukup bagus selevel dengan bapakku. Tak terasa dia telah pergi di pingit lelaki yang tak lebih tampan dari adiknya sendiri kata Ismail sendiri.

Ismail tak berubah dia masih seperti remaja delapan belas tahun yang selalu bertekad untuk segera meninggalkan rumah kalau saja Netherland tak bergejolak akhir-akhir ini. Pernah satu kali sehabis sholat magrib bersama Abah dan Hamidah mendengar deru pasukan Belanda datang sekitar satu kompi. Saat itu Abah segera memasukkanku di bawah kolong untuk menghindari sesuatu yang hmm... kalian mungkin tau "pembantaian". Aku tak tau apa-apa saat itu. Namun, yang ku tahu hanya rasa benciku semakin mekar pada sekumpulan manusia berengsek berkulit putih yang telah menginjak tanah leluhur kami.

Pernah juga satu kali aku ingn masuk ke pasukan seperti teman-temanku, membantu menyelesaikan konflik akibat Netherland yang menjijikkan. Tapi Abah dengan cepat menepuk bahuku yang berkata dengan kalimat lembutnya.

"Mereka selalu seperti itu, apa kau tau berapa banyak yang hilang dan mati karena tindakan mereka? Mengapa kau tak gunakan akal dan musikmu melawan mereka," seru Abah kepadaku.

Saat itu juga entah mengapa sesuatu menyadarkanku, aku berpikir dalam benatku,

"Mengapa tak ku gunakan apa yang ku punya untuk membantu menyingkirkan lintah menjijikkan itu dengan diplomasi mungkin,"seruku dalam hati.

Semenjak kunyanyikan lagu pertamaku untuk Sarinah tak pernah ku dapatkan inspirasi apapun untuk menciptakan laguku untuk selanjutnya Sarinah tetap saja gemas menyebalkan seperti biasanya, dia selalu memintaku untuk terus menyanyikan lagu yang kubuat untuknya berulang kali sesekali kumainkan lagu itu dengan alat musik yang berbeda.

"Abah...Abah," pinta Ismail sambil tersenyum.

"Ada apa Ismail" ia letakkan cerutu yang baru saja ia nyalakan pada asbak besi kesayanganya, marzuki tak lagi segagah dulu sekarang dengan rambut putih yang mulai menghiasi kepalanya a nampak semakin renta tanpa Ismail sadari, dengan perlahan Marzuki kembali menghisap cerutunya membumbungkan puai puai asap beraarna putih keangkasa.

"Abah, bukankah aku terlalu merepotkanmu selama ini"

Alis Marzuki bertautan, tak seperti biasanya anak bungsunya berkata demikian

"Ada apa apa kau juga ingin pergi meninggalkan Abah? Kemana kau akan pergi"

Sarinah tercekat perlahan berhenti dan bersembunyi dibalik pintu.

"Kemana Ismail akan pergi" batinya resah mendengar percakapan antara anak dan Abahnya itu,

Dia tidak tau ada perasaan aneh yang selalalu yang menggelayuti tubuhnya akhir akhir ini, entah mengapa dia ingin selalu bertemu dengan Ismail setiap saat bahkan jika mampu ia ingin sekolah di tempat yang sama agar ia selalu dapat bersama dengan Ismail, Sarinah juga tidak tau mengapa. Namun, Ismail selalu nampak lebih tampan dan bersinar setiap ia bertemu dengannya. Menyuruhnya untuk selalu menyanyikan lagu hanya sebuah gimik, dia ingin terus bersama Ismail.

"Ah.." Ismail menundukkan kepalanya "aku juga tidak tau"

Ismail kembali meletakkan cerutunya meminum sedikit kopinya dan menepuk bahu anaknya, berlalu tanpa sepatah kata apapun.

Sarinah lega Ismail tak jadi pergi sesuai keinginan yang pernah ia utarakan beberapa hari lalu, namun sekarang Ismail nampak berbeda ia lebih murung dari biasanya tak tau apa yang sedang ia pikirkan. Akhirnya denga tekad yang kuat malam itu Sarinah pergi kekamar Ismail menanyakan alasannya ingin pergi dari rumah ini, pergi meninggalkannya yang terlanjur jatuh hati walau Ismail sendiri tak mengetahui rasa yang di milikinya padanya

SAUDADE: Antara Rindu dan Nostalgia Simfoni Ismail MarzukiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang