Prolog

755 96 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mereka yang terlahir memiliki keindahan fisik yang sering disebut sebagai malaikat putih, tak pernah memiliki nasib yang indah seperti namanya. Rumor dan kepercayaan tak berdasar jika malaikat putih itu akan membawa keberuntungan jika menikah dengannya, membuat mereka tak memiliki kebebasan selayaknya manusia.




Pangeran kecil yang masih berusia enam tahun, diam dengan buku besar di atas pangkuannya, membolak - balikkan tiap halaman itu, membiarkan kakinya menikmati rasa sejuk air yang terhiasi oleh teratai berwarna putih dalam kolam di tengah - tengah istana, dan berteduh di bawah gazebo besar nan luas bertiang - tiang yang bernuansa putih pula. Anak itu tak memandang ke arah lain selain bukunya, tak memedulikan para pelayan yang berdiri dengan jarak jauh untuk mengawasinya, dan juga ikan - ikan kecil yang menggigit - gigit kakinya.

"Pangeran, ini waktunya untuk anda belajar, Sang Guru sudah menunggu sedari tadi." ucap salah satu pelayan pria.

Namun, anak itu mengabaikannya dan menjawab. "Aku tidak mau."

"Pangeran, Yang Mulia Raja akan kembali memerahi anda jika anda menolak." ucap pelayan wanita.

Anak itupun menutup bukunya, berbalik sekilas pada kedua pelayan yang ternyata berdiri hanya beberapa meter di belakangnya itu. Menatap mereka dengan pandangan datar, anak itu berkata "Bukannya aku sudah bilang untuk berhenti bekerja di istana kalau kalian tidak mau dimarahi Ayah?"

"Asahi."

Semua pelayan menegang dan menundukkan kepalanya, langkah kaki berat itu berhenti tepat di tengah jembatan penghubung lorong terbuka dengan gazebo di tengah kolam, Asahi menatap datar pria besar yang kini mulai rapuh itu.

"Ayah sudah bilang, kau harus banyak belajar karena kau akan-"

"Menjadi pengganti posisi raja." potong Asahi, "Aku tidak mau."

"Kau harus." ucap pria itu, "Apa kau masih tidak mengerti kondisinya?"

Anak itu diam sesaat, menatap tepat ke arah mata sang ayah, "Kenapa aku harus mengerti akan kondisi Ayah jika Ayah bahkan tidak pernah benar - benar peduli dengan Ibu?"

Pria itu tak mengatakan apapun, masih diam menatap sang anak di pinggir bundaran gazebo itu.

"Bukannya Ayah tak ada bedanya dengan orang - orang? Menikahi Ibu hanya karena dia salah satu manusia cantik- si malaikat putih."

"Asahi-"

"Aku akan menemui sang guru," potong Asahi, "Jadi Ayah tak perlu menemuiku, tapi tak berarti aku mau menjaga kerajaan ini." Pangeran kecil itu memeluk buku besarnya, berdiri dari tempatnya saat ini, bukannya berjalan melalui jembatan, ia memilih untuk melompati pijakan batu - batu besar dan daun teratai itu menuju lorong seberang, membiarkan sang raja hanya diam menatapnya.








Malam yang begitu sunyi, Asahi menarik sedikit tirai dari jendela besar nan tinggi di kamarnya yang luas, mengintip ke langit dengan bulan bundar sempurna yang bersinar.

Jari kecilnya menghitung tiap bintang yang bisa ia lihat, terus menekuk dan membuka setiap jarinya penuh, hingga akhirnya salah satu pelayan wanita masuk ke kamarnya.

"Ini sudah waktunya untuk tidur." ucap wanita itu.

Asahi memutar tubuhnya tanpa melepas genggaman kecilnya pada tirai, ia tersenyum manis. "Bibi mau bacakan aku dongeng apa kali ini?"

Pelayan wanita yang ia sebut bibi itu tersenyum, berjalan mendekati kasur besar dengan empat tiang penumpu kanopi, dengan sebuah buku dongeng di tangannya. "Apa kau mau mendengar dongeng Aladin?"

Asahi berlari menuju kasur dan merangkak naik, menarik selimut putih tebalnya dan menutup seluruh tubuh mungil berpiyama biru muda, menggenggam kecil ujung gaun tidur sang bibi yang duduk di sebelahnya.

"Ceritanya seperti apa?" tanyanya antusias.

Sang bibi masih tersenyum, mengelus kepala berambut putih itu dengan lembut dan menjawab "Mungkin kau akan sangat suka dengan dongeng ini."

Senyum anak itu semakin melebar, ia menggeser kepalanya lebih dekat pada sang bibi.

"Baiklah, aku akan mulai membacakannya untumu." ujarnya, "Suatu ketika di sebuah kerajaan besar yang makmur, ada seorang putri kesepian..."







Tepat saat cerita itu berakhir, pangeran kecil itu sudah tertidur lelap dengan menempelkan wajahnya pada paham samping sang bibi. Wanita itu tersenyum, meletakkan buku itu di nakas dan turun, membenahi posisi tidur Asahi kecil dan mengusap kepalanya lembut.

"Saya mengerti jika anda menyesal telah memaksakan pernikahan anda dulu dengan mendiang nyonya Hamada, tapi apa anda harus memaksanya mempertahankan kerajaan ini juga?" ucap sang bibi, mengetahui ada orang yang berdiam diri di pojok ruang kamar itu.

"Apa kau akan berbicara seperti itu pada kakakmu sendiri, Taeyeon?" ucap sang raja.

Taeyeon berbalik, "Biark ku ingatkan kembali, kau adalah raja, dan aku bukan apa - apa di dalam istana ini selain pengasuh Asahi, kak Yesung. Aku sudah berulang kali mengatakan aku tak mau jadi tuan putri." ucapnya, "Asahi tidak mengikuti margamu, tapi mengikuti marga Hamada seperti Ibunya."

"Aku tetap memerlukannya untuk menjadi raja berikut-"

"Apa kau tak memikirkan apa yang akan dia lewati?" potong Taeyeon, "Dia tak memiliki teman, tak tahu dunia luar, biarpun dia bisa, dia tak akan pernah hidup dengan tenang selama orang - orang bodoh diluar sana masih mempercayai kepercayaan itu." Taeyeon menahan nafasnya sebentar dan mengucapkan kalimat yang sebenarnya tak ingin ia ucapkan, "Seperti kau dulu."

Yesung diam, menatap lekat sang adik.

"Aku sudah mengatakannya padamu, kau tak bisa memaksa seseorang untuk menikah denganmu, dan itu tak akan membawa kesembuhan bagi tubuhmu ataupun tubuhku." ucapnya, "Kita berdua tetap sekarat. Tubuh kita memang terlahir lemah, kita tak bisa melakukan apapun."

Taeyeon mengambil buku dongeng yang ia bawa dan berjalan mendekati pintu, "Setidaknya cobalah menjadi seorang Ayah sebelum kita berdua mati, karena aku juga mencoba sebisaku untuk menjadi Ibu dari tiga anak dengan baik."

Wanita itu lenyap saat pintu kamar menutup, Yesung menatap keluar jendela yang tertutup tirai. Ia melangkah mendekati kasur, duduk di samping sang anak yang terlelap dengan wajah lugu nan tembam, ia mengusap ringan pipi dari putra satu - satunya itu dengan punggung jarinya.

"Asal kau tahu saja, aku juga sangat merindukan Ibumu." ucap Yesung.

SAVIORSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang