prolog

530 76 31
                                    

Rasa bangga menyusup ke dalam dadanya begitu menyapukan lipstik merah pada bibir tipisnya. Langkah terakhir merias wajah dan rambut yang sudah ia tata dengan indah. Di depan cermin, gadis itu mengulas senyum melihat keseluruhan dirinya yang tampil sempurna.

Malam ini akan menakjubkan.

Pikirannya berkeliaran meninggalkan raganya yang belum beranjak dari kamar, pada sosok yang tengah menunggu di sebuah ruangan. Ia semakin tidak sabar untuk pergi menemui. Sebagai pelengkap, gadis itu menyemprotkan parfum pada lengan dalam dan leher jenjangnya. Mengenakan d'Orsay Pump hitam setinggi tujuh sentimeter, ia siap melangkah keluar dari kamar. Meluncur ringan untuk menemui kekasihnya dengan senang hati.

Di musim panas ini, ia tidak ragu mengenakan gaun pendek tanpa lengan meski ini malam hari. Udara cukup sejuk, lagi pula ia tidak akan berada di ruang terbuka, kekasihnya memilih sebuah tempat yang dipilih khusus untuk kencan mereka. Itu membuatnya tidak ragu sama sekali melangkahkan kaki menemui pujaan hati.

Bergegaslah.

Pikirannya memerintah agar ia bergerak cepat. Jarang sekali mereka bertemu karena tuntutan pekerjaan, jadi ia tidak boleh melewatkan satu menit saja.

Ruangan itu berada di lantai dua belas gedung Eclat. Sebuah gedung yang nyaris setiap hari ia datangi. Saat memasuki gedung tersebut, ia meletakkan jari tengahnya pada fingerprint, setelah identitasnya dikenali, pintu terbuka dan gadis itu langsung menuju elevator. Menekan angka dua belas setelah berada di dalam benda metal tersebut.

Wajahnya terpantul pada pintu lift, tampak cantik. Gadis itu pun kembali membenahi rambutnya yang lembut. Menunggu lift membawanya ke lantai yang dituju hingga pintu itu pun terbuka, menyuguhkan lorong gelap dengan lampu-lampu suram. Tapi ia merasa lorong itu berkilauan, bayangan memantul pada dinding. Dan bunyi bergemeletuk ujung tumit sepatunya menggema ketika ia mulai membawa jenjangnya menyurusi koridor.

Rasa ngeri yang sempat menyergap benaknya, kini lenyap digantikan sebongkah euforia. Tanpa mengetuk, tangannya menekan daun pintu dan mendorongnya pelan. Tubuh ramping itu masuk setengahnya, memperhatikan ruangan yang sudah ditata glamor dan wangi dari lilin yang tersusun di atas sebuah meja dengan dua kursi saling berhadapan.

Bibirnya tertarik membentuk lengkungan kurva, sang kekasih tidak pernah setengah-setengah dengan kencan mereka. Mata indahnya berpendar, tak mendapati sosok yang berada di pikirannya saat ini. Ruangan itu kosong dengan cahaya samar yang berasal dari lilin yang disebar di beberapa tempat.

Ia mulai menghampiri meja, menarik kursi dan mendudukkan dirinya di sana. Meletakkan clutch-nya di atas meja dan mengeluarkan ponsel, bermaksud menghubungi kekasihnya tersebut.

Seketika pandangannya gelap, seseorang sengaja menutup kedua matanya dari belakang. Ia tidak menepis kain yang begitu lembut menyentuh kulit wajahnya saat sosok di belakang sana mulai mengikat sepotong kain tersebut di belakang kepalanya. Aroma maskulin yang menyusup ke dalam penciumannya jelas aroma yang selalu menjadi candu untuknya. lalu tangan besar itu turun menyusuri leher dan berhenti di bahu telanjangnya yang meremang, sentuhan yang begitu halus namun bisa membuat deru napasnya terengah-engah. Dengan mata yang tertutup, tingkat sensitivitasnya menjadi lebih tinggi.

"Kau sudah memberi kejutan dengan makan malam mewah ini, kenapa masih ingin memberi kejutan lagi?" tanya tak bisa menahan rasa senangnya.

Tak ada jawaban, hanya sentuhan serat tali yang cukup kasar mulai melilit lehernya. Tangannya meraih tali tersebut, mencoba menyingkirkannya, namun ikatan itu semakin mengencang, mempersempit pernapasannya.

Gadis itu tak lagi merasakan sakit saat kuku-kuku jarinya mengoyak kulit, mencabik lehernya yang indah. Mulutnya terbuka, mencari pasokan udara untuk paru-parunya yang seakan siap meledak karena tekanan. Tak satupun suara keluar dari tenggorokannya. Sosok di belakang sana tidak melonggarkan cengkeramannya pada tali sedikit pun.

Hingga tubuh si gadis tak lagi berdaya, kedua tangannya jatuh pada permukaan perut sebelum terkulai lemas di kedua sisi tubuhnya. Tidak lagi bernyawa, bahkan tak sempat membuka kain yang menutupi matanya untuk sekedar melihat sosok yang sudah melenyapkannya.

...

Sandra
15/11/21

Mudah"an projek ini bukan ff trkhir aku ya



ClandestineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang