2. Who is He?

63 7 0
                                    


















Selesai menonton film Twilight dua seri kesukaannya, Karina mandi.

Bangun tidur tadi dia langsung pergi ke bioskop kecil di lantai satu rumahnya, entah mood dari mana tiba-tiba saja bangun lalu kepikiran untuk menonton ulang film vampir dan serigala yang sudah ditonton ratusan kali sejak sekolah dasar. Ketimbang si vampir, Karina lebih mendukung si serigala dengan pemeran utama perempuan.

Sampai sekarang Karina masih sebal kenapa sih tokoh perempuan itu harus memilih laki-laki dingin pucat berbadan kurus dari pada laki-laki kuat berbadan kekar yang kerennya minta ampun. Kalau saja pemeran utamanya Karina, pasti sejak awal dia akan memilih si serigala. Huh, pagi-pagi ada saja yang membuat kesal.

Sarapan biasanya disiapkan pukul delapan, jadi masih ada waktu satu jam untuk dia mandi.

Pagi ini mimpi Karina tidak nengenakkan, bukan mimpi buruk, hanya saja dia tidak merasa tidak nyaman dan terus kepikiran soal mimpinya.

Di mimpi tersebut dia bertemu dengan laki-laki yang mengaku sebagai malaikat dan menawarkan perjanjian yang menggoda mata. Dalam hati, Karina berdoa semoga saja semua itu hanya mimpi, dia tidak mau menambah pekerjaan lagi kalau saja mimpi itu berubah menjadi kenyataan. Pekerjaan yang sekarang sudah berat, dia tidak mau tubuhnya sampai rusak hanya untuk mencari uang. Karina memang kaya, tapi semua uang itu masih belum cukup untuk hidup tigaratus tahun!

"Veye!"

Di tangga menuju turun, Karina yang berselimut handuk kimono dengan rambut panjang basah meneriakkan nama manajernya.

Dia harus melihat jadwal hari ini.

Meja makan sudah penuh dengan makanan walau yang sarapan hanya Karina dan manajernya, Veye. Biasanya Karina makan sereal atau roti berselai, dan segelas susu diet agar berat badannya terjaga di pagi hari.

Veye datang dan ia masih mengenakan pakaian tidurnya. Semalaman dia begadang penuh untuk menyusun ulang jadwal minggu depan Karina.

"Kamu belum mandi?" tanyanya sembari menyoles selai coklat.

"Iya, maaf. Semalam lembur."

"Tapi udah cuci muka?"

"Udah."

"Duduk. Aku siapin sarapan buat kita."

Beberapa bulan ini Karina memang sering mengajak Veye makan bersama. Veye pikir majikannya itu kesepian setelah Papi dan Mami pulang ke rumah mereka sendiri yang ada di kota sebelah.

Veye duduk di bangku yang berhadapan, melepas kacamata bulatnya. Ciri khas asisten berwibawa dan bertanggung jawab, itulah kenapa Karina memilih Veye untuk memanejemen jadwal-jadwal harisnnya. Usia Karina dan Veye terpahut lima tahun lebih tua Veye. Jadi selesai kuliah Veye langsung bekerja dengannya, walau baru bekerja selama setengah tahun.

"Kamu mau susu?"

"Iya." ia terima susu putih segelas dari Karina. "Soal jadwal hari minggu, bisa tidak jika anda datang ke satu saja schedule di malam hari? Saya sudah bicara dengan produser--"

"Veye," potong Karina. "Udah aku bilang kalau ngomong sama aku nggak usah pakai bahasa formal, biasa aja ngomongnya."

"Maaf, tapi bukannya terdengar tidak sopan?"

"Kamu lima tahun lebih tua, jadi nggak apa-apa, aku terima aja."

Ini bukan pertama kali Karina bilang begitu, dulu juga pernah.

Ia gigit roti selai buatan Karina, diam-diam memandang perempuan itu, membatin betapa mulianya seorang Karina dibalik kalimat sombong yang tiap kali ia ucapkan.

OurselvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang