Malam Petak Umpet

81 12 1
                                    

MENULIS BUKU HARIAN adalah salah satu hobi Serra selain terlibat perkelahian di arena tanding tentunya. Ia biasa mencatat hal-hal kecil yang terjadi dalam kesehariannya untuk mengingat momen. Terutama momen yang tidak terlupakan seperti pertemuannya dengan Marcello dan yang lainnya.

Meski tidak menulisnya seperti anak-anak, Serra cukup menjelaskan secara detil apa yang dilaluinya pada hari itu dan bagaimana perasaannya saat semua itu terjadi. Bisa dikatakan bahwa buku harian itu menyimpan setengah dari rahasia besar milik Serra.

Namun malam ini, kebiasaan menulis itu terusik oleh sesuatu yang tak biasa. Samar-samar gadis dengan piyama tidurnya yang berwarna navy itu mendengar suara ketukan dari luar jendela. Kebetulan, jendela di kamarnya memang terhubung dengan balkon di luar ruangan, tapi siapa juga yang mau repot-repot naik ke balkon hanya untuk mengetuk jendela besar di kamarnya tersebut.

Awalnya Serra juga tidak menanggapi suara itu karena berpikir ketukan-ketukan tersebut bisa saja berasal dari hewan yang tak sengaja menempel dan bergerak pada permukaan jendela. Tetapi semakin lama, suara itu bukannya memudar melainkan terdengar lebih keras dan jelas.

Rasa penasaran pun mendadak muncul. Serra lantas menutup buku diary dengan sampul abu-abunya itu dan beranjak dari meja belajarnya.

Gadis itu sudah bersiap dengan kuda-kudanya, seandainya saja yang bersuara di luar sana adalah seorang perampok atau penjahat lainnya. Dengan sangat hati-hati, Serra melangkah agar tidak menimbulkan suara. Ia juga memiringkan tubuhnya agar bisa menempel ke dinding dan mengintip melalui tirai kamarnya.

Namun ternyata suara itu tidak berasal dari jendela di balkonnya, melainkan dari jendela milik Sakilla.

Serra mengernyitkan kening dan menajamkan pandangannya untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya memang benar. Sosok yang berdiri dengan tudung hoodie hitamnya adalah Fabian.

"Kamu di sini?"

Suara Sakilla yang berbisik justru mengalihkan pandangan Serra. Ia sama sekali tak habis pikir dengan reaksi saudari kembarnya itu dan merasa terkejut sekarang.

"Sakilla sama sekali nggak marah Fabian kesini malam-malam?" batinnya.

Gadis dengan jepit rambutnya yang berwarna perak itupun menyelinap keluar dari jendela dan berhasil berdiri di hadapan Fabian setelahnya. Keduanya sama-sama tersenyum, seolah menikmati kegilaan yang mereka ciptakan sendiri.

Sedangkan Serra tak berpindah sedikitpun dari tempatnya. Ia bersembunyi di balik tirai dan terus menguping, berusaha mengetahui lebih dalam isi pembicaraan antara Sakilla dan Fabian.

"Kamu cantik malam ini," puji Fabian.

Yang justru membuat Serra bergidik jijik di tempatnya berdiri sekarang. Pasalnya wajah Sakilla tampak bersemu merah setelah Fabian melontarkan godaan itu kepadanya.

"Makasih, Bi."

Namun tiba-tiba Fabian mendekat, mempersempit jarak di antara mereka berdua dan membuat Serra semakin menegang di tempatnya. Membayangkan hal-hal yang akan terjadi hanya membuat perut gadis itu mual sekarang.

Jangan sentuh dia.

"Tapi ...," Fabian mengangkat satu tangannya.

Jangan sentuh Sakilla.

"Kamu bakalan lebih cantik lagi kalau nggak pake ini," kata laki-laki itu seraya menurunkan cardigan berwarna lilac yang sedang dipakai oleh Sakilla. Ia tersenyum tipis seolah hal tersebut membuatnya benar-benar senang sekarang. "Sesekali kamu perlu tampil kaya Gretta dan Tya biar kelihatan lebih modis, Sakilla."

Serra naik pitam. Ia mengepalkan kedua tangannya.

Berani-beraninya lo sentuh dia kaya gitu, Fabian!

Namun ketika gadis itu hendak membuka jendela, mengabaikan piyama tidur dan rambutnya yang berantakan, Sakilla yang tersenyum kegirangan justru membuatnya enggan untuk bergerak. Tidak pernah sekalipun Serra melihat wajah Sakilla sebahagia itu. Ia bahkan rela melepaskan outer yang begitu disukainya, melemparkannya ke dalam jendela, lalu menggenggam tangan Fabian begitu saja.

Sakilla tak peduli dengan bahan pakaian yang tipis hanya untuk seorang Fabian.

Si brengsek itu.

Serra sudah tidak bisa menahan kekesalannya lagi. Ia akan keluar dan memberikan satu oleh-oleh bogeman mentah untuk laki-laki tidak tahu malu itu.

Namun tiba-tiba saja suara ponsel di atas kasur membuat Serra terperanjat. Ia menoleh panik ke arah benda tipis itu dan segera menutup tirai. Dengan langkah yang masih waspada tetapi tetap berhati-hati, Serra melangkah menuju sumber suara.

"Sial," umpatnya.

Dengan sangat cepat, Serra meraih ponsel dan menekan ikon hijau yang ada di layar. Buru-buru Serra menempelkan si 'pintar' ke telinga kanannya.

"Halo, Sereh?"

Serra mendesah kesal. "Lo ngapain sih nelpon gue malam-malam?!"

Marcello, laki-laki itu memang ada dimana-mana. Bisa-bisanya dia menghubungi Serra di waktu yang tidak tepat seperti begini.

"Eng ... anu ... gue mau nanya soal pertandingan karate besok."

Yang mana jawaban Marcello itu justru membuat Serra semakin kesal tak karuan. Ia mendecih dan buru-buru menyela. "Marcello Wijaya, gue lagi nggak bisa ngobrol basa basi busuk sama lo sekarang. Ada keadaan darurat di sini."

"Eh, kenapa?"

Dia malah bersikap santai, tidak ingin buru-buru menyudahi percakapan malam yang katanya justru membuat suasana semakin romantis.

Namun tentu saja Serra sedang tak ingin menikmati obrolan santai yang menjemukkan. Gadis itu berkacak pinggang dengan satu tangannya, sesekali juga mendesah tak sabar. "El, Fabian tiba-tiba datang ke rumah gue."

"Emang dibolehin sama bokap lo ada tamu cowok malam-malam?"

"Itu dia masalahnya, Ellllll!!!" Serra menjambak rambutnya frustrasi. "Dia datengnya diam-diam, naik ke balkon trus ngetokin jendela kamarnya Sakilla."

Akhirnya sang penelpon pun mulai paham dengan situasi yang sedang dihadapi oleh Serra. Marcello menggumam pendek, hanya untuk memberi kesan cukup peduli dengan apa yang sedang dihadapi oleh gadis yang ditaksirnya tersebut. "Terus gimana sekarang? Lo mau mergokin mereka berdua? Bikin kekacauan?"

"Persetan sama kekacauan. Bodo amat, El. Gue nggak peduli."

"Eh, eh, bentar dulu, Ser! Jangan gegabah," cegah Marcello dari seberang sana.

Yang membuat Serra memutar kedua bola matanya malas. Ia mengedikkan kedua bahunya dan berkacak pinggang lagi. "Terus gue harus gimana? Diam aja, padahal mereka berdua lagi pacaran di balkon rumah gue? Gitu?"

"Tapi, El-"

Serra mengambil keputusan dengan cepat dan memilih mematikan panggilan tersebut. Ia juga mengaktifkan mode senyap agar tidak terganggu oleh notifikasi atau panggilan masuk lainnya. Meski sebenarnya tidak akan ada yang akan melakulan hal tersebut di jam malam seperti itu selain Marcello.

Serra melempar ponselnya ke atas ranjang dan kembali mendekati jendela. Ia bersiap untuk keluar dari jendela dan memarahi kedua orang tadi. Namun sepertinya niat itu harus digagalkan oleh menghilangnya Sakilla serta Fabian dari balkon kamar.

"Kemana mereka berdua?"

Karena Fabian serta saudari kembarnya, Sakilla, telah menghilang dan meninggalkan jendela kamar yang dibiarkan terbuka. Hanya tirai keemasan lah yang bergoyang pelan karena terbawa angin malam itu.

"Gue nggak boleh tinggal diam sekarang. Besok, suka atau enggak suka, gue bakal tetap ngomong sama Sakila. Fabian, awas aja lo kalau sampe macem-macem ke Sakilla. Gabakal ada ampun buat manusia kaya lo," kata Serra dalam hati.

ERAT (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang